Kamis, 27 Februari 2014

Anis Matta di Mata Gurunya

Anis Matta Bertemu Gurunya Dulu
Awal tahun 1980 datang seorang anak kecil bersama pamannya ke Pesantren Darul Arqam untuk mendaftarkan diri sebagai santri. Anak bertubuh kurus itu menjadi santri paling kecil diantara ratusan santri lainnya.

Demikian penuturan seorang guru di Pondok Pesantren Darul Arqam, Ustadz Abdul Djalil Thahir ketika bincang-bincang santai bersama tim media Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan (Sulsel) baru-baru ini.

"Santri kecil itu bernama Anis Matta, bocah bertubuh kecil tapi pemberani," kata Abdul Djalil
Abdul Djalil melanjutkan ceritanya bagaimana Anis Matta dalam usia 11 tahun mampu menjadi santri yang melebihi santri-santri lainnya. "Awalnya banyak santri yang tidak memperhitungkan Anis Matta, namun dengan berjalannya waktu, anak itu memperlihatkan kemampuannya, kecerdasannya dan kepiawaiannya dalam berkata-kata membuatnya diakui oleh semua santri Darul Arqam," tuturnya.

Sosok Cerdas dan Disiplin

"Di Pesantren ini, kalian harus siap 'dipalu', 'digergaji', kalian memang tidak merasakan manfaatnya saat ini, tapi kalian akan merasakan manfaatnya saat keluar nanti," demikian nasihat yang seringkali dilontarkan Abdul Djalil kepada ratusan santrinya.

Abdul Djalil yang merupakan guru bahasa arab di Darul Arqam mengatakan bahwa Anis Matta sosok santri yang disiplin, Anis diakuinya tidak pernah terlambat datang ke kelas.
“Saya sangat tegas jika mengajar, santri yang terlambat boleh mengikuti pelajaran tapi dengan syarat berdiri sampai pelajaran usai. Anis Matta tidak pernah terlambat mengikuti pelajaran, dia anak yang rajin,” ungkap lelaki kelahiran 1945 ini.
Di Pesantren, lanjut Djalil, Anis Matta adalah sosok yang ramah, dia tidak punya musuh dan tidak pernah bertengkar. "Dia disukai banyak orang karena kecerdasan dan kebaikannya," ungkapnya.

Abdul Djalil Thahir memaparkan bagaimana keseharian dan kepribadian Anis Matta selama menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Arqam. Dia mengatakan bahwa Anis Matta adalah sosok santri yang cerdas dan disiplin. 

Djalil menambahkan bahwa Anis juga seorang anak yang ramah dan disenangi teman-temannya.
"Anis Matta adalah sosok yang ramah, dia tidak punya musuh dan tidak pernah bertengkar, dia disukai banyak orang karena kecerdasan dan kebaikannya," ungkapnya.

Nasi Kecap yang Membuatnya Jadi Orang Besar

Anis Matta pernah menceritakan dalam orasi-orasinya ketika melakukan konsolidasi dengan kader di daerah bahwa menu sarapan paginya hanyalah seporsi nasi kecap. Namun dari nasi kecap itulah ia kelak akan menjadi orang besar, begitulah guru-gurunya sering menasehatinya.

Selain nasi kecap, sumur tempat para santri mandi pun jauh dari pondok, berjarak 1 kilometer dan dikelilingi kubangan kerbau, membuat air sumur tersebut bau.
"Yah, nasi kecap dan air bau itulah yang membuat Anis menjadi orang besar dan berkarakter," ujar Abdul Djalil. Apa yang dinasehatkan para gurunya ternyata benar adanya.
Dan kini ada dua santri cerdas lulusan Darul Arqam, Anis Matta yang kini menjadi Presiden PKS dan Shamsi Ali yang kini menjadi Imam Besar di Amerika Serikat.

Sosok yang Kritis

"Kalau kamu tidak bisa melawan dan mengalahkan saya, berarti kamu bukan murid saya" itulah kalimat yang pernah terlontarkan dari Abdul Djalil kepada Anis semasa berpondok di Darul Arqam.
Salah satu karakter Anis Matta yang disukai oleh Abdul Djalil adalah sikap kritisnya. Dalam usia masih belasan tahun, Anis berani menyampaikan kritikannya jika merasa tidak sesuai dengan pendapatnya. Menurut Abdul Djalil itu adalah karakter pemimpin. Ayah dari delapan anak ini menceritakan sikap kritis Anis Matta yang tidak bisa dia lupakan.

“Saat itu Anis Matta kelas 6 (Tiga Aliyah), kebijakan di pesantren, santri aliyah dimasukkan ke jurusan IPA, Anis dan teman-temannya tidak setuju, karena harusnya mereka di jurusan syariah dan tarbiyah, tapi karena saat itu saya lagi di luar kota mengikuti pendidikan selama 3 bulan maka dia belum sempat protes,” Kenang Abdul Djalil.

Menurutnya, Anis tidak bisa menahan gejolak ketidaksetujuannya, maka dia mendatangi rumah Abdul Djalil dan bertemu dengan istri Sang Guru, Khaeriah Abdul Jabbar.
“Bu, tolong berikan alamatnya ustad, kami mau kirim surat, kami tidak mau seperti ini,” protes Anis di depan istri Abdul Djalil.

Khaeriah tidak memberi dan mengijinkan Anis untuk mengirimkan surat protesnya. “Tidak bisa, kamu tidak boleh mengganggu suami saya yang sedang ikut pendidikan, kalau mau protes nanti saja ketika dia sudah pulang,” tegas Khaeriyah menolak permintaan Anis, maka Anis pun menahan keinginannya hingga Sang Guru kembali ke pesantren.

Saat kembali dari pendidikan, Abdul Djalil melihat gejolak dan sikap kritis di mata Anis, maka dia menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kebijakan pesantren.
“Kenapa kalian tidak mau belajar IPA? Padahal dalam Al-quran itu isinya tentang alam dan cara mengatur alam,” kata Abdul Djalil menjelaskan panjang lebar di depan ratusan santri, Anis mendengarkan dengan seksama.

Setelah itu tidak ada penentangan, suami dari Khaeriyah Abdul Djabbar itu sangat paham bahwa Anis memang kritis jika tidak ada hal yang sesuai dengan pemikirannya, namun setelah mendapat penjelasan dan masuk akal maka dia akan menjadi orang yang sangat patuh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar