PKS Menang 3 Besar 2014 Insya Allah |
Zuhairi Misrawi mengatakan dalam akun twitternya, “kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan”. Kontan saja kicauan yang berbau fasisme itu mengundang kritikan di sosial media.
Twit
Ulil Abshar Abdalla menjelaskan siapa ‘kaum Islamis’ yang dimaksud.
Dalam twitternya, mantan koordinator JIL itu mengatakan: ““Tak mau Indonesia mengalami problem Mesir? Jangan biarkan kekuatan Islamis membesar di Indonesia. Itu kata kuncinya,” di waktu berbeda Ulil sampaikan, “Tugas kita adalah melakukan kritik terus-menerus agar ideologi Islamis di Indonesia yang dibawa PKS tak meluas pengaruhnya,” kicau @ulil.
Kita
tidak akan bahas bagaimana reaksi kelompok-kelompok gerakan Islam
terhadap kicauan dua tokoh paling moncer di Jaringan Islam Liberal itu,
tanggapan Fahri Hamzah, wakil Sekjen PKS, cukup mewakili bagaimana PKS
menghadapi kicauan tokoh muda yang pemikirannya tidak populer di
kalangan Nahdhatul Ulama tersebut.
Dalam
akunnya, @Fahrihamzah katakan: “ulil dan kawan-kawan gak usah khawatir
dengan PKS, sebab prosedur menjatuhkannya ada dalam jadwal demokrasi
kita..,” kicaunya.
Dari
‘perang maya’ tersebut menarik memang melihat fakta bagaimana seorang
Fahri Hamzah dari kalangan Islamis mengedepankan sistem demokrasi untuk
menerima peralihan kekuasaan, “prosedurnya ada dalam jadwal demokrasi
kita” katanya., namun pada saat
yang sama seorang liberalis dan pembela asas-asas demokrasi seperti
Zuhairi dan Ulil justru terkesan mencari-cari celah untuk membenarkan
kudeta terhadap pemerintah yang dipilih secara sah dan konstitusional
melalui prosedur-prosedur demokrasi. Kicauan Ulil dan Misrawi ini berbanding terbalik dengan apa yang kerap mereka presentasikan dalam seminar-seminar mengenai penerimaan terhadap demokrasi, prinsip-prinsip egalitarianisme, humanisme, dst. Padahal pada zaman modern dan manusiawi ini,
kita semua tahu, jika boleh mengutip fahri hamzah, “untuk atau atas
nama apapun kepemimpinan sipil haram dijatuhkan secara militer apalagi
dengan alasan kepuasan publik. Survey boleh menunjukkan kepuasan di
bawah 50% kepada presiden @SBYudhoyono tapi dia haram dijatuhkan secara
kudeta. Presiden di negara demokrasi hanya bisa dijatuhkan via pemilu atau karena melakukan pelanggaran hukum berat.”
Ketakutan terhadap PKS
Saya mencoba memahami ketakutan Ulil, Misrawi, dan kalangan yang satu madzhab dengan mereka secara pemikiran terhadap
kekuatan islamis-terutama PKS. Tampaknya PKS dalam pandangan kelompok
liberal adalah gerakan Islam yang hanya memanfaatkan prosedur-prosedur
demokrasi untuk kemudian menghilangkan demokrasi itu sendiri ketika
sudah mendapatkan kekuasaan. Ketakutan kalangan liberal terhadap PKS
bisa kita lihat dalam banyak artikel, misalnya tulisan Ahmad Najib
Burhani ”Piagam Jakarta, dan Piagam Madinah” yang dimuat di salah satu koran Nasional tahun 2004. Juga artikel “Memahami Realitas PKS” karya Happy Susanto (2008) di situs Jaringan Islam Liberal yang mengatakan bahwa PKS secara pure hanya mengadopsi ideologi timur tengah tanpa adanya “indigenisasi” dengan konteks “kekinian dan kedisinian” Indonesia.
Memang disinilah kelemahan demokrasi. Sistem politik dari Yunani kuno tersebut tidak memiliki ‘self defence mechanism’
atau mekanisme pertahanan diri. Demokrasi akan membiarkan siapapun
mengikuti kontestasi pemilu, bahkan kepada kelompok yang paling tidak
demokratis sekalipun. Demokrasi
secara sah akan—dan harus—mengakuinya secara konsitusional. Dan ketika
pemenang pemilu justru membunuh demokrasi itu sendiri di parlemen mealui
voting untuk mengganti konsitusi negara dengan sistem selainnya, maka
pada waktu itu demokrasi tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Hal inilah yang ditakutkan oleh kelompok liberal. Tetapi cara pandang “anak-anak JIL” ini menjadi absurd, ketika pada saat yang sama kelompok kecil ini justru mengakui rezim kudeta Mesir yang terang benderang menodai kanvas demokrasi kita dimana militer melakukan coup d’etat terhadap
Presiden Mursi, pemenang sah Pemilu Mesir. Sungguh anomali ketika kita
melihat, Fahri Hamzah yang berasal dari kalangan Islamis, justru lebih
demokratis daripada Ulil dan Misrawi dari kelompok JIL. anomali karena
selama ini kalangan liberal acapkali menuding kalangan Islamis sebagai
kelompok yang tidak demokratis. Terang sudah mana yang betul-betul
demokratis, dan mana yang sekadar lips service.
Kenapa Curiga pada PKS?
Melihat
keberadaan PKS dalam konteks demokrasi kita memang menarik. Para
pengamat politik mengidentifikasi PKS dengan sebutan kaum Islamist democrat (Demokrat Islamis), yakni kelompok Islam yang menjalankan demokrasi, setidaknya demokrasi elektoral, tetapi tetap memperteguh identitas dan agenda-agenda Islam ke dalam kehidupan publik (Mujani, 2004). Istilah islamist democrat ini menurut pengamat politik senior Saiful Mujani, adalah suatu contradictio interminis, atau ungkapan yang mengandung pengertian kontradiktif di dalam dirinya.
Tentu mudah dipahami mengapa fenomena islamis democrat disebut sebagai sebuah kontradiksi, karena selama ini pattern yang terbentuk antara gerakan Islam dan demokrasi adalah dua hal tidak pernah bisa bertemu. Kita bisa melihat pandangan-pandangan tersebeut melalui pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharut Tauhid, dan kelompok-kelompok anti demokrasi lainnya.
Padahal dalam konteks PKS kita akan menemukan pandangan lain. Membahas bagaimana relasi Islam-Negara dalam kacamata PKS adalah hal yang menarik. Lihat
bagaimana Anis Matta, Presiden PKS itu memosisikan demokrasi dalam
kacamata yang lebih luas alih-alih sempit pikir seperti Hizbut Tahrir
yang menghinadina demokrasi sejak awalnya. Dalam kacamata Anis Matta
sebagaimana tertuang dalam bukunya Menikmati Demokrasi, demokrasi adalah sebuah kanvas dimana semua orang boleh melukis.
“Semua
individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan individu lain. Semua
sama-sama bebas berpikir, berekspresi, bertindak, dan memilih jalan
hidup. Tidak boleh ada rasa takut, ada tekanan, terutama dari militer.
Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.”
Anis melanjutkan, “Namun
kebebasan (dalam demokrasi) ini ada harganya. Para pelaku dakwah memang
bebas menjalankan dakwahnya. Tetapi pelaku kemungkaran juga bebas
melakukan kemungkaran. Yang berlaku disini bukan hukum benar-salah, tapi
hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu
itu benar tapi tidak legal, adalah salah. Jadi tugas kita adalah
bagaimana mempertemukan antara kebenaran dan legalitas. Bagaimana
menjadikan sesuatu yang haram dalam pandangan agama, menjadi tidak legal
dalam pandangan hukum positif, dan apa yang diperbolehkan oleh agama
menjadi legal dalam hukum positif itu.”
Dari
pandangan Anis tadi, tampak jelas bagaimana PKS menerima demokrasi
sebagai bagian dari cara mereka menyampaikan aspirasi. Sama persis
dengan apa yang berada dalam benak kalangan sekuler yang juga
menyampaikan aspirasinya lewat demokrasi. Yang berbeda dari keduanya
hanya pada tataran ide apa yang diperjuangkan. Dan memang karena itulah
demokrasi diperlukan: sebagai melting pot dari ragam ide yang tumbuh di masyarakat. PKS menyampaikan apa yang
diinginkannya melalui prosedur demokrasi yang sah dan konsitusional,
seraya tetap menghargai keragaman dan multikulturalitas dalam
masyarakat. Itulah mengapa PKS menerima demokrasi sebagai sarana
perjuangan.
Lihat bagaimana Fahri Hamzah dalam buku tebalnya berjudul, “Negara, Pasar dan Rakyat” (2010) menggambarkan demokrasi, “demokrasi
sejalan dengan ide modernisasi yang menuntut adanya perubahan di segala
bidang kehidupan. Tradisi Islam bukanlah warisan kaku yang hanya
mempertahankan corak klasiknya. Meski pada awalnya Islam tidak mengenal
prinsip demokrasi, namun gagasan universal demokrasi sejalan dengan
prinsip Islam… tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan
demokrasi. Dalam prinsip Islam elemen-elemen demokrasi meliputi
prinsip-prinsip tertentu seperti syura, musawah, adalah, amanah,
masuliyah, dan hurriyah.”
Pandangan realistis dan akomodatif semacam
ini terhadap demokrasi sejatinya sejalan dengan pandangan seorang ulama
dunia yang cukup dihormati di Indonesia, yaitu Syaikh Yusuf
al-Qaradhawy dalam bukunya Fiqh Daulah (Fikih Negara)
Khilafah versus Nation State
Menarik sekali apa yang dikatakan oleh John L.Esposito, dalam bukunya Islam and Politics (1985)
Esposito mengatakan bahwa di kalangan kelompok-kelompok Islam terdapat
kesamaan mengenai “bukan negara Islam”, tetapi justru terdapat perbedaan
mengenai “negara Islam”. Apakah ia harus berbentuk Negara trans-nasional atau bolehkah berbentuk nation-state (Negara bangsa)?
Di kalangan gerakan Islam, terma khilafah paling nyaring disuarakan oleh Hizbut Tahrir (HT) sekalipun tidak tampak
jelas mau dibawa kemana arah perjuangan tersebut setelah HT berdiri
sejak 1953. Impian tentang khilafah sebagai negara yang adil, makmur,
sejahtera, memang membuai sebagian masyarakat. Kejenuhan terhadap
realitas yang senjang, kekacauan sosial, dan sebagainya membuat sebagian
orang memilih hidup dalam romantisme masa lalu, dan terbuai dalam
keindahan masa depan seraya mencela zaman ini.
Jauh
sebelumnya, hal serupa sebetulnya telah terimajinasikan dalam benak
seorang filosof Muslim, Al-Farabi (870-950) yang memimpikan sebuah
negara damai, adil makmur, sejahtera, dan seribu keutamaan lainnya yang
ia tuangkan dalam sebuah kitab berjudul Araa Ahl l-Madiinah al-Fadhilah. Sebegitu indahnya Negara tersebut hingga ide al-Farabi itu lebih sering dikritik sebagai sebuah utopia.
Sekalipun sebetulya secara performa luar kader PKS agak mirip dengan Syabab Hizbut Tahrir, namun pandangan dua kelompok dari gerakan Islam ini rupanya berbeda. Mudah
untuk memahami bahwa sebagai gerakan ekstra parlemen yang pekerjaannya
“hanya mengritik”, tentu mudah bagi HT utk bekerja dan menawarkan
solusi2 di ranah wacana semata. Dan kita akan paham bahwa negara trans
nasional yang didirikan HT akan menjadi “negara yang menakutkan”
karena kelompok ini memiliki pandangan utk membentuk sebuah negara
super power “satu negara untuk seluruh dunia Islam” sebagaimana makna
khilafah yang dicetuskan oleh pendiri HT, Taqiyuddin an-Nabhani
(1909-1979). Artinya selepas kekhilafahan berdiri, maka berikutnya akan
terjadi penaklukan-penaklukan ke seluruh dunia utk melebarkan wilayah
kekuasaannya.
PKS tidak memahami khilafah dalam definisi sedemikian. Lihat bagaimana seorang pendiri PKS, Hidayat Nur Wahid menjawab ketika ditanya tentang pandangannya mengenai pemerintahan Islam:
“Jangan
berpolemik mengamandemen UUD 1945 untuk menghadirkan pemerintahan Islam
(khilâfah Islâmiyah). Kita sudah lelah dengan polemik, akan lebih bijak
jika berkonsentrasi untuk melaksanakan ajaran agama. lebih penting
adalah agar seluruh masyarakat Indonesia melaksanakan ajaran agama
seperti dalam pasal 29 UUD 1945. Jika agama dilaksanakan oleh semua umat
beragama pada tingkat moral dan etos kerja saya kira akan membawa
dampak positif bagi moral bangsa.”
Lebih tegas tentang khilafah, HNW melanjutkan:
“Pada
zaman sekarang ini, apakah yang namanya kekhalifahan harus berwujud
dengan nama khilâfah, bukankah negara republik atau kerajaan pada skala
tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun namanya, republik atau kerajaan,
kalau disitu terlaksana dengan baik nilai-nilai keadilan, kesejahteraan,
keislaman, pemberdayaan, tidak terjadi praktek-praktek korupsi,
penindasan, kezaliman, nepotisme, tirani, dan kemudian terjadi mekanisme
kepemimpinan yang islami, bisa disebut sebagai kekhalifahan itu
sendiri. Dalam konteks Indonesia yang sudah berbentuk republik, tidak
perlu lagi diubah namanya menjadi kekhalifahan.”
Melihat
pandangan HNW ini, tak perlu rasanya kita menaruh curiga bahwa jika PKS
berkuasa maka NKRI akan hilang diganti dengan Negara agama. Tentu saja
pandangan seorang agamawan jebolan Gontor yang telah menghabiskan masa
sarjana hingga doktoralnya di Universitas Islam Madinah itu tentulah
bukan tanpa pengetahuan. Dalam beberapa konteks, nation-state (Negara bangsa) dengan khilafah sebetulnya tidak perlu saling menegasikan.
Mari kita lihat bagaimana pada
tahun 912 M, di Spanyol ‘Abd al-Rahmân al-Nâsir mulai menggunakan gelar
khalîfah. Padahal pada waktu yang sama kekhalifahan Bani ‘Abbâsiyyah
masih berlangsung di bawah pengaruh Bani Buwaihi. Bahkan pada periode
912-1013, khilâfah Islâmiyah di Spanyol ini telah mencapai puncak
kejayaan dan menyaingi Daulah ‘Abbâsiyyah di Baghdâd. Demikian
pula halnya yang terjadi pada masa Dinasti ‘Utsmâniyyah di Turki. Pada
masa pemerintahan Turki Utsmani berlangsung, berdiri dua pemerintahan
Islam, yakni Dinasti Syafawi di Persia, dan Dinasti Mughal di India. (Badri Yatim, 2001)
Kemunculan
Kerajaan Syafawi di Persia dan Dinasti Mughal di India yang menyaingi
Dinasti Utsmani ini, memiliki konteks yang sama dengan kekhilafahan
Islam di Spanyol, yakni keberlangsungan pemerintahan Islam secara
bersamaan pada era yang sama, di tempat yang berbeda. Oleh karena itu, sebagaimana di Spanyol, kedua Dinasti ini juga dapat disebut sebagai “khilâfah Islâmiyyah”. Artinya adalah, pada masa itu terdapat begitu banyak pemerintahan
Islam, sehingga jika pada konteks kekinian kekhilafahan dibentuk
berdasarkan “kekhilafahan2 kecil”, maka itu tidak bertentangan dengan
fakta historis di atas.
Demikian juga jika kita melihat bagaimana pandangan Anis Matta tentag symbol agama sebagai nama Negara. Anis Mengatakan “jika subtansi telah cukup mewakili nama, maka tak perlu nama mewakili substansi tanpa menafikan nama”
PKS Memperjuangkan Masyarakat Madani
Adalah Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah UIN
Jakarta yang merasa beruntung mendapat kesempatan mendalami PKS ketika
diundang dalam Milad ke-10 sehingga bisa mengetahui apa sebetulnya
tujuan PartaiIslam terbesar di Indonesia itu.Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan begini:
Negara
Indonesia bagaimanakah yang dicita-citakan PKS? Jawabannya jelas dalam
tujuan pendirian PKS: ”Tujuan didirikannya PKSejahtera adalah
terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhai
Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. PK Sejahtera
menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi
wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga
Merauke”.
‘Masyarakat
madani’. Inilah salah satu kata kunci untuk lebih memahami PKS. Apa
yang dimaksud PKS dengan ‘masyarakat madani’? Masyarakat madani adalah
masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada:
nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan; menghormati
pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong
menjaga kedaulatan negara.
Pengertian
genuine dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks
masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah
(ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah
basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI”.
Dengan
platform ini, sekali lagi, jelas, PKS tidaklah bertujuan membentuk
‘negara Islam’ atau yang semacamnya, melainkan bertujuan membentuk
masyarakat madani. Jelas pula, masyarakat madani yang diinginkan PKS
adalah masyarakat madani yang berbasiskan agama (religious-based civil
society); bukanlah masyarakat sipil atau masyarakat kewargaan yang dalam
sejumlah wacana tentang civil society tidak memiliki konotasi apalagi
hubungan dengan agama. Konsep masyarakat madani yang akhir ini pada
dasarnya merupakan teoretisasi dari pengalaman di Eropa Timur dan
Amerika Latin.
Jadi, kita perlu paham bahwa yang diperjuangankan PKS adalah msyarakat madani. Sebuah kehidupan sosial bermasyarakat
yang merujuk pada kehidupan pada masa Nabi di Madinah. Bukan lagi pada
masa khilafah. Masyarakat madinah adalah masyarakat yag plural, terdiri
dari beragam suku dan agama namun hidup bersatu dalam sebuah Negara yang
konstitusional dalam sebuah konsensus bersama.
Jika
masyarakat semacam ini mennjadi inspirasi, tentu saja karena didasari
religiusitas masyarakat kita, maka NKRI akan tetap ada, tetap
berbhinneka tunggal ika. Jadi tidak perlu paranoid dengan gerakan
Islamis democrat.
Partai
Islam memperjuangkan idenya, sebagaimana partai selainnya juga
memperjuangkan idenya. Semua berkontestasi di dalam pemilu yang sah dan
kosntitusional.
Jika sudah begitu, Kenapa kita harus curiga pada PKS?
by : @sigitkamseno
at http://politik.kompasiana.com/2013/09/20/kenapa-kita-harus-curiga-pada-pks-594388.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar