Jumat, 31 Mei 2013

Seluruh CALEG PKS BINJAI TOLAK KENAIKAN HARGA BBM

CALEG PKS DAPIL 2 BINJAI UTARA

Janji Pemimpin dengan Allah

Janji Para Pemimpin dengan Allah

oleh: Shalih Hasyim

BERBEDA dengan masyarakat biasa, ia lahir langsung menjadi rakyat tanpa melewati sejumlah seleksi. Sedangkan menjadi seorang pemimpin, tidak mudah dan sederhana. Ia diakui menjadi pemimpin melalui proses yang panjang dan alami (natural). Terlebih dahulu ia diuji keunggulannya dalam sebuah komunitas  yang ia berada di dalamnya.
Amanah kepemimpinan ini telah ditawarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala  kepada langit, bumi dan gunung, tetapi semuanya tidak menyanggupinya khawatir mengkhianatinya. Maka manusia siap memikulnya. Kemudian manusia berlaku zhalim karena miskin iman dan berbuat jahil karena kurang ilmu.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan, wadzifah diniyyah] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab (33) : 72).
Memang,  tidak sederhana menjadi pemimpin. Disamping mendapatkan SK langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala , pemimpin juga bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah (2) : 30).

Bahkan, kemampuan kepemimpinan Nabi Adam as setelah dibimbing langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala .

عَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!." (QS: Al Baqarah (2) : 31).

Jadi, ada dua dimensi tanggungjawab yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin. Yaitu, mengadakan kontrak vertikal dan kontrak horizontal. Jika seorang pemimpin khilaf terhadap Allah Subhanahu Wata’ala  maka Ia adalah Maha Pengampun. Sedangkan manusia, pada umumnya pendendam. Jika terjadi haqqul adami (hak-hak anak Adam) yang dirampas, maka ia menanggung dosa yang manggantung. Allah Subhanahu Wata’ala  tidak menghapus dosanya sebelum ia menyelesaikan dengan yang dipimpinnya.
Seorang yang lemah dalam kompetensi dan komiteman dalam memikul jabatan pemimpin akan berakhir dengan penyesalan.
Pernah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam mengingatkan kepada sahabat Abu Dzar Al Ghiffari untuk berambisi menjadi pemimpin, karena menurut beliau ia adalah seorang yang lemah. Kelemahan itulah yang menjadi kendala untuk menjalankan roda kepemimpinan.
Setidaknya ada dua persyaratan pokok yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin.  Di antara dua kode etik komitmen, sebagaimana sifat yang melekat dalam diri para utusan-Nya, yakni shiddiq (jujur antara perkataan dan perbuatan) dan amanah (dapat dipercaya).
Kemudian dua kode etik kompentensi adalah Tabligh (memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan yang dipimpin) dan Fathonah (cerdas dan cepat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya). Dua kode etik tersebut sudah menggambarkan sosok pemimpin yang ideal.
Keberhasilan dalam memikul amanat kepemimpinan, faktor keberuntungan dan keselamatannya di akhirat kelak.

ماَمِنْ عَشِيْرَةٍ اِلاَّ أَنْ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِياَمَةِ مَغْلُوْلَةٌ يَدَهُ اِلَى عُنُقِهِ اِماَّ أَطْلَقَهُ عَدْلُهُ أَوْ أُوْبَقَهُ جُوْرُه
“Tidak ada satu pun penguasa yang menanggung keperluan rakyat melainkan pada hari keadilannya atau dibinasakan oleh kezhalimannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

اَلْمُقْسِطَوْنَ عَلَى مَناَبِرِ مِنْ نُوْرٍ الذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِيْ حُكْمِهِمْ وَماَ وَلُّوْ
"Para pemimpin yang adil akan tinggal di atas panggung-panggung yang terbuat dari cahaya, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam memutuskan perkara dan mengurus ahli-ahlinya serta segala sesuatu yang diserahkan kepadanya.” (HR. Muslim, Nasai dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Agar sukses melaksanakan kode etik tersebut, seorang pemimpin dituntut melaksanakan fungsi yang diembannya sebagaimana gelar yang disematkan pada seorang pemimpin dalam sejarah Islam. Gelar yang disematkan dalam diri pemimpin adalah Imam, Khalifah, Amir, Ra’in (khadim), dan Waliyyul Amr. Kelima gelar tersebut sekaligus menggambarkan fungsi yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin

DALAM siyasah Islamiyah (politik Islam) pemimpin dalam istilah Arab dikenal imam, artinya berada di depan (dapat dijadikan teladan). Dari kata Imam melahirkan kata turunan umm (ibu). Artinya seorang pemimpin seharusnya bisa dijadikan rujukan (referensi). Kemudian melahirkan kata turunan berikutnya umat. Maka:
1. Seorang pemimpin sepatutnya berpihak dan mencintai umat yang dipimpinnya. Jika seorang pemimpin dapat dijadikan keteladanan dan dirujuk serta mencintai yang dipimpin, maka disamping pemimpin tersebut secara formal memiliki legalitas maka secara informal legitimed.

2. Seorang pemimpin dikenal pula sebagai khalifah (pengganti). Maka, seorang pemimpin dituntut menyiapkan penerus dan pelanjut perjuangannya. Jadi, standar keberhasilan seorang pemimpin diantaranya ditentukan dalam ketrampilannya dalam mencetak kader yang berkualitas. Dalam kamus Bahasa Indonesia Oleh Purwodarminta kader adalah seseorang yang disiapkan sedemikian rupa untuk memikul tugas-tugas penting kepemimpinan dalam keluarga, institusi, partai dan negara.

3. seorang pemimpin dituntut memiliki ketegasan dalam memberikan intruksi (amir). Sebab, bagaimanapun kepandaian seorang pemimpin tetapi komando kebawah  mengalami disfungsi, maka sebenarnya keberadaannya tidak efektif.
Dua prajurit yang saling bekerjasama lebih baik daripada dua jendral yang saling berseberangan. Karena, kemampuan dalam membangun team work yang kompak, indikator keberhasilan kepemimpinan.

4. seorang pemimpin adalah pengembala dan pelayan yang dipimpinnya (ra’in dan khadim). Dia dicintai oleh yang dipimpinnya jika ia benar-benar mendengar dan melayani mereka. Sebagaimana perkataan Umar bin Khathab yang terkenal;  “Sayyidul Qaumi Khadimuhum” (penghulu suatu kaum adalah yang dapat melayani mereka). Kualitas kepemimpinan seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya berorasi (katsratur riwayah), tetapi banyaknya mendengar dan melayani (katsratul istima’ war ri’ayah).

5. seorang pemimpin adalah yang dengan senang hati mengurus urusan yang dipimpinnya (waliyyul amr). Karena, ketika ia menjadi pemimpin bukanlah ia hanya milik keluarga dan kelompoknya, tetapi ia adalah milik umat. Oleh karena itu ia dituntut berjiwa besar (menampung segala karakter manusia). Ia dituntut berjiwa permadani (menampung berbagai watak manusia). Ia tidak berfikir duntuk kepentingan orang-orang terdekatnya saja, tetapi mengutamakan orang banyak, utamanya kaum lemah. Dimana kaum lemah adalah berjumlah mayoritas di mana pun dan kapan pun.

Kelima kriteria tersebut jika dilaksanakan dalam proses kepemimpinan, maka akan menjadi pemimpin yang legal dan legitimed. Ia pandai meletakkan dirinya, menyikapi dirinya, memandang dan mempersepsikan orang lain dalam sebuah komunitas. Ketika berada di depan dapat dijadikan teladan dan rujukan (ing ngarso sung tuladha), berada di tengah dapat membangun kelompok kerja (ing madya mangun karso), berada di belakang dapat memberikan motivasi (tut wuri handayani).

http://www.hidayatullah.com/read/28669/22/05/2013/kontrak-para-pemimpin-dengan-allah-azza-wa-jalla-%282%29.html

Senin, 27 Mei 2013

AWAS MEDIA MASSA BERBASIS PARPOL MERACUNI OPINI ANDA..

Media Massa Milik Partai Politik


Dari Rib’iy bin Hirasy, katanya: “Saya berangkat dengan Abu Mas’ud al-Anshari ke tempat Hudzaifah al-Yaman ra, lalu Abu Mas’ud berkata kepadanya: “Beritahukanlah kepadaku apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah s.a.w. perihal Dajjal.” Hudzaifah lalu berkata: “Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Dajjal itu keluar dan sesungguhnya beserta Dajjal itu ada air dan api. Adapun yang dilihat oleh para manusia sebagai air, maka sebenarnya itu adalah api yang membakar, sedang apa yang dilihat oleh para manusia sebagai api, maka sebenarnya itu adalah air yang dingin dan tawar. Maka barangsiapa yang menemui Dajjal diantara engkau semua, hendaklah masuk dalam benda yang dilihatnya sebagai api, karena sesungguhnya ini adalah air tawar dan nyaman sekali.” Setelah itu Abu Mas’ud berkata: “Sayapun benar-benar pernah mendengar yang seperti itu.

By: hari Indrawan,S.Pd

Tamayyuz di Mihwar Muassasi

Oleh Hilmi Aminuddin

       Ikhwah dan akhwat fillah, saat ini gerakan dakwah kita memiliki rakizah siyasiah, yakni stressing atau titik tekan pada bidang politik. Hal ini perlu saya garis bawahi, mengingat ada  beberapa hal yang  kadang-kadang menyebabkan kita mengalami keterjebakan situasional. Misalnya ada yang mengatakan atau menganggap kita masuk ke dalam mihwar siyasi (era politik).
Padahal dalam manhaj kita, hanya dikenal mahawir arba’ah atau empat era yang di dalamnya tidak ada mihwar siyasi (era politik) sebagaimana halnya tidak ada mihwar tarbawi (era pembinaan). Keempat mihwar dakwah tersebut ialah mihwar tanzhimi (structural), mihwar sya’bi (masyarakat), mihwar muassasi (kelembagaan) dan mihwar daulah (negara). Di setiap mihwar dari empat mihwar dakwah tersebut terkandung amal siyasi (aktivitas politik) dengan tingkat persentase yang berbeda-beda, karena amal siyasi adalah bagian tidak terpisahkan dari amal da’wi (aktivitas dakwah) kita.
            Ikhwah dan akhwat fillah, seringkali dalam menghadapi situasi, kondisi-kondisi, aksi-aksi dan tantangan-tantangan tertentu kita lupa untuk merujuk atau kembali ke manhaj (pedoman). Padahal penguasaan kita akan manhaj, insya Allah cukup baik, apakah itu di ruang lingkup manhaj asasi, yakni Alquran dan Sunah ataupun di ruang lingkup produk ijtihad jama’ah kita yang tentunya juga bersumber dari Alquran dan Sunah. Langkah-langkah perjuangan dalam bentuk manhaj amali (pedoman aktivitas) tersebut cukup untuk dapat merespon dan mengantisipasi segala perkembangan. Hanya saja kita seringkali lupa merujuk ke manhaj tersebut. Boleh jadi karena keterdesakan kita di lapangan atau kesibukan yang demikian padat.
             Agar lebih jelas, saya ingin sedikit mengulang penjelasan-penjelasan tentang stressing di masing-masing mihwar. Pada mihwar tanzhimi, rakizatul amal (stressing kerja) kita berupa bina syakhshiyah islamiah dan syakhshiyah da’iyah atau mewujudkan sosok pribadi islami dan pribadi da’iah. Juga bagaimana kita  berusaha mengokohkan mishdaqiyah syakhsyiah islamiyah dan mishdaqiyah syakhshiyah da’iyah atau kredibilitas pribadi islami dan kredibilitas pribadi da’iyah.
Di era atau mihwar tanzhimi tersebut yang selalu kita ukur dan evaluasi adalah tingkat pertumbuhan kader dalam arti pertumbuhan dan perkembangan kader-kader kita secara internal. Bahkan ketika kita mengukur, mengevaluasi diri dari segi eksternal, yang kita lihat pun sejauh mana pertumbuhan calon kader yang dapat direkrut menjadi kader. Jadi di masa itu orientasinya adalah perekrutan, pembinaan, pertumbuhan dan perkembangan kader-kader dakwah.
           Kemudian dakwah kita berkembang dan memasuki mihwar atau era sya’bi. Di era ini kita mulai ber-sya’biah atau mensosialisasikan siri, kader-kader dan program-program dakwah kita di masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai di mihwar ini adalah mishdaqiyah syakhshiyah ijtima’iyah atau kredibilitas sebagai pribadi yang diterima di masyarakat. Kita berupaya keras agar kader-kader kita memiliki kredibilitas tersebut. Di mihwar sya’bi ini kita bukan hanya menerapkan tolak ukur kuantitas berupa pertumbuhan dan perkembangan kader, melainkan juga sejauh mana kader-kader yang kita miliki memberi pengaruh di masyarakat.
           Ikhwah dan akhwat fillah, di mihwar tanzhimi kita sudah mulai melaksanakan program-program yang merupakan mukadimah atau pengkondisian ke arah mihwar sya’bi. Begitu pula di mihwar sya’bi, kita sudah melakukan langkah-langkah pendahuluan yang sekaligus merupakan condisioning untuk menuju mihwar muassasi.
         Alhamdulillah, Allah Ta’ala memberikan peluang yang mempercepat masuknya kita ke mihwar muassasi. Kita memang sudah membuat langkah-langkah mukadimah menuju mihwar muassasi berupa pendirian yayasan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan lain sebagainya. Namun perubahan-perubahan cepat yang terjadi yang antara lain dipicu dan dipacu oleh globalisasi ekonomi, politik dan lain-lain serta krisis ekonomi—dan tentu saja sebab utamanya adalah tadbirullah (rekayasa Allah), membuat peluang untuk memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan formal terbuka lebar. Maka mulailah kita memasuki mihwar muassasi dengan menampilkan diri sebagai Hizbul ‘Adalah (Partai Keadilan). Kita menyebutnya  mihwar muassasi dan bukan mihwar siyasi, walaupun memang dalam mihwar muassasi sebagaimana halnya di mihwar tanzhimi dan sya’bi terkandung aspek-aspek siyasi. Dan karena di mihwar muassasi ini sudah menyentuh aspek kelembagaan politik, maka persentase amal siyasinya pun meningkat.
        Upaya memantapkan langkah-langkah secara struktural dan operasional di mihwar muassasi ini juga akan menyentuh  sektor amal siyasi. Sekali lagi saya tegaskan bahwa amal siyasi merupakan sektor. Sebab bila kita mengatakan mihwar kini sebagai mihwar siyasi berarti kita terjebak ke dalam amal juz’i dan sekaligus harakah juz’iah, seperti halnya kita tidak bisa mengatakan sebagai mihwar tarbawi agar tidak terjebak juga pada ke-juz’iyah-an atau keparsialan. Jadi setiap mihwar memiliki beragam amal sesuai dengan ke-syumuliah-an dan ke-takamuliah-an amal Islam.
              Ikhwah dan akhwat fillah, karena itu di setiap mihwar dibutuhkan adanya ke-tawazun-an antar amal. Ke-tawazun-an adalah proporsionalitas dalam pemberian peran-peran, pendayagunaan dan pengerahan potensi-potensi SDM. Kata proporsionalitas menunjukkan adanya ketepatan atau akurasi penyaluran potensi sesuai dengan tuntutan medan dan situasi-kondisi serta aksi-aksi yang kita lakukan.
             Oleh karena itu, ikhwah dan akhwat fillah, betapa pun kita dituntut untuk merespon situasi dan kondisi saat ini dengan proporsionalitas yang menuntut porsi lebih di bidang politik, tetap saja kita tidak boleh mengabaikan amal tarbawi (pembinaan), amal tsaqafi (penambahan wawasan), amal khairi (sosial), amal ijtima’i (kemasyarakatan) dan lain-lain. Masalah stressing atau penekanan di sektor tertentu pada moment tertentu adalah hal yang biasa. Misalnya di bulan Ramadhan kita meliburkan halaqah-halaqah tarbawi internal, karena kita ingin merespon amal khairi dan taabbudi (ibadah) di bulan mulia tersebut. Kita berkonsentrasi meningkatkan tadayyun sya’bi (keberagamaan masyarakat) karena terdapat katsafah furshah (peluang yang luas) di bulan Ramadhan.
Jadi bila kini menjelang pemilu kita merespon tuntutan amal siyasi yang membesar, itu merupakan masalah proporsionalitas tanpa harus mengabaikan bidang-bidang lain. Sehingga memadatnya aktivitas politik kita menjelang pemilu tidak berarti kita terjebak dalam mihwar politik. Mihwar kita adalah mihwar muassasi, artinya secara kelembagaan kita mulai menampilkan diri seluruh batang tubuh ke permukaan dengan nama Hizbul ‘Adalah.

             Ikhwah dan akhwat fillah, mihwar muassasi ini akan terus berkembang ditandai dengan bertambahnya muassasah atau lembaga infrastruktur sosial politik kemasyarakatan baik yang kita bangun sendiri atau yang  kita warnai (muassasah yang dibangun oleh ikhwah seperjuangan dalam Islam, yaitu ormas atau parpol lain), dan nantinya juga kita bisa melebarkan sayap dengan memasuki secara langsung lembaga-lembaga suprastruktur dan infrastruktur kenegaraan. Hal ini merupakan bagian dari mihwar muassasi dan merupakan langkah-langkah awal yang akan menjembatani masuknya kita, Insya Allah, mustaqbalan (di masa mendatang) ke dalam mihwar daulah.
           Hal penting yang harus kita perhatikan di dalam mihwar muassasi ialah bahwa kita bukan sekadar memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan partai, melainkan juga mengupayakan bagaimana aqidah, fikrah dan manhaj kita mewarnai infrastruktur sosial politik di masyarakat atau infrastruktur kenegaraan dan kemudian akhirnya supra struktur kenegaraan. Lembaga infrastruktur dan suprastruktur negara akan kita masuki jika tingkat proporsi penyebaran SDM dan pengaruh kita di ruang lingkup kelembagaan infrastruktur kemasyarakatan atau sosial politik sudah memadai. Barulah kemudian kita melangkah ke dalam mihwar daulah.
Dalam hal ini ingin saya ingatkan bahwa setiap mihwar memiliki perimbangan proporsi amal yang berbeda-beda dan dapat berubah-ubah. Hendaknya hal ini tetap dalam ruang lingkup ke-tawazun-an dan keterpaduan amal islami.

Tamayyuz
Langkah-langkah amal kita harus mutamayyiz. Kita bergaul bersama, berpacu, namun nahnu mutamayyyizun (kita berbeda). Kata tamayyuz mengandung pengertian keberbedaan yang mengandung keistimewaan. Jadi bukan asal beda, melainkan mutamayyiz ’an ghairina, berbeda yang mengandung keistimewaan dari yang lainnya. Kita mengetahui slogan yang dikumandangkan oleh Syahid Sayyid Quthb, yaitu yakhtalithun walakin yatamayyazun, kita berbaur, bergaul, bersilaturahmi, ber-tawashau bil haq, ber-tawashau bis shabri, tawashau bil marhamah dengan seluruh lapisan umat, namun nahnu mutamayyizun, kita berbeda. Tamayyuz—kespesifikan ini penting agar menjadi arahan yang memudahkan masyarakat untuk mendukung kita.
             Pertama-tama tamayyuz kita adalah dalam ruang lingkup SDM. Kita harus mutamayyiz fii rijal. Kita harus sanggup menampilkan tamayyuz fii rijal, keistimewaan SDM atau personil.
Ikhwah dan akhwat fillah, dalam memasuki mihwar muassasi yang kedudukannya merupakan langkah-langkah mukadimah menuju mihwar daulah, rijalud da’wah atau SDM dakwah kita seyogianya sekaligus juga memiliki bobot dan bakat yang akan dikembangkan menjadi rijalud daulah atau sosok negarawan yang memiliki visi kenegaraan yang baik.
          Kita sudah memiliki kader-kader yang berbasis akidah, fikrah dan minhaj yang baik. Kini tinggal berupaya bagaimana kita mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan diri secara atraktif. Bukan berarti kita riya, melainkan semata-mata dalam kerangka ‘isyhadu bi anna muslimin”, saksikan kami ini orang-orang Islam. Kita mencoba memperjelas, mengedepankan tampilan produk islamisasi rijal kita.
Paling tidak ada lima kespesifikan, keunikan atau keistimewaan yang—Alhamdulillah—dimiliki oleh jamaah kita, yaitu:
  1. Mutamayyiz fii rijal (keistimewaan SDM)
  2. Mutamayyiz fi adaa (keistimewaan penunaian tugas)
  3. Mutamayyiz fii intaj (keistimewaan sentuhan produk)
  4. Mutamayyiz fii khidmah (keistimewaan pelayanan)
  5. Mutamayyiz fii muamalah (keistimewaan bermasyarakat)
            Keistimewaan yang pertama ialah mutamayyyiz fii rijal atau keistimewaan personil dakwah. Keistimewaan personil dakwah atau SDM ini dilandasi oleh tamayyuz fii aqidah, fikrah, minhaj dan akhlaq. Modal utama berupa keistimewaan dalam akidah, fikrah, minhaj dan akhlak sangat berdayaguna dalam membangun mishdaqiyah syakhshiayah da’iyah (kredibilitas pribadi muslim dan da’iyah).
              Namun keistimewaan SDM ini harus ditunjang oleh tamayyuz fii adaa atau keistimewaan dalam penunaian tugas. Jadi kita harus mutamayyiz fii adaa. Dalam menunaikan tugas, kita memiliki modal berupa motivasi yang tinggi yang dibangun oleh aqidah kita. Kemudian idealisme yang besar yang dibangun oleh fikrah kita dan langkah-langkah kerja yang tertib teratur yang dibangun oleh manhajiah kita.
             Kesemuanya itu menjadi modal dalam menunaikan ruhul badzli wa tadhhiyah karena dilandasi niat yang khalishan li wajhillah ta’ala. Ruhul badzli wa tadhhiyah adalah modal motivasi, militansi dan vitalitas stamina yang dibangun oleh akidah, fikrah, akhlak dan semangat ibadah kita. Kesemuanya itu menjadi modal utama dalam tamayyuz fii adaa yang kemudian ditopang pula oleh kemampuan dalam takhtit, perencanaan/programming dan idariah/ manajemen.
             Kelengkapan modal tersebut membuat kita mutamayyiz fi adaa, istimewa dalam penunaian tugas. Kita tidak menjadi orang-orang yang menunaikan tugas secara infiradiyah, sekenanya, seketemunya dan seadanya di lapangan, melainkan  benar-benar mutamayyiz fii adaa karena di back up oleh faktor-faktor mental, moral dan ideal serta faktor-faktor konsepsional, berupa perencanaan dan manajemen yang baik. Jika kita berhasil menampilkan  adaa’ul wazhaif (penunaian tugas secara baik), insya Allah keistimewaan kita akan muncul di tengah masyarakat.
Apalagi bila diikuti dengan keistimewaan produk-produk yang kita hasilkan yang menimbulkan kesan dan pengaruh yang kuat di masyarakat karena mau tidak mau masyarakat memang menilai dan mengukur masalah produktivitas.
             Karena itu, keistimewaan yang ketiga yang harus kita miliki adalah tamayyuz fii intaj. Program-program yang kita gulirkan harus terasa hasilnya di masyarakat. Sudah tentu yang dimaksudkan terasa, tidak selalu harus dalam bentuk produk materi. Bahkan sebagian besar yang kita miliki bukan berupa produk materi, melainkan pendekatan ilmi, shihhi, ijtima’i, ma’nawi dan sebagainya
Ikhwah dan akhwat fillah, sudah sewajarnyalah masyarakat mengharap dan menunggu-nunggu produk-produk nyata yang dihasilkan oleh parpol-parpol dan kelompok-kelompok organisasi yang menjamur belakangan ini. Oleh karena itu kita harus mampu menyajikan produk yang mutamayyiz kepada masyarakat jika ingin mendapatkan sambutan publik yang baik.
Tamayyuz dalam produk bukan diukur dari segi kuantitasnya, melainkan dari segi kualitas sentuhannya yang terasa di hati masyarakat.
Ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz yang berikutnya yang juga harus kita miliki ialah tamayyuz fii khidmatan lis muslimin (keistimewaan dalam pelayanan kepada muslimin), khidmatan lin naas (pelayanan kepada manusia), sehingga kita akan tampil mutamayyiz fii khidmah (istimewa dalam pelayanan). Ada pepatah Arab berbunyi, “An-naas yuwalluna man yakhdimuhum,” (manusia akan memberikan wala atau loyalitas kepada orang-orang yang melayaninya). Karenanya ada juga pepatah lain, “Sayyidul qaum khaadimuhum” (Pemimpin suatu kaum [bangsa] adalah pelayan bagi kaum tersebut).
           Bila kita tampil sebagai lembaga yang paling piawai memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka ia pun akan mendapatkan sambutan lebih dibanding dengan yang lain. Pelayanan kepada masyarakat tidak harus selalu diartikan pelayanan fisik, materi yang bersifat langsung, simbolik, atraktif dan promotif, misalnya pemimpin datang memberikan bantuan materi kepada bawahannya. Hal itu hanya merupakan sebagian kecil dari ruang lingkup pelayanan kepada masyarakat. Memang hal itupun perlu juga sekali-kali kita lakukan, namun yang lebih penting adalah bagaimana kerja keras kita, mengupayakan terjaminnya kemaslahatan masyarakat dalam dua hal yang digariskan Allah dalam Q.S. Quraisy: (1) Terjaminnya masyarakat dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang asasi أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ (terbebasnya dari kelaparan) dan (2) Kebutuhan akan rasa aman atau terbebas dari ketakutan, ketidakpastian, intimidasi, kediktatoran dan kezhaliman (وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ).
Kedua hal tersebut juga berkaitan dengan لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ atau masalah qalb (hati) dan وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ atau berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasadiyah. Ruang lingkup pelayanan kita harus meliputi kedua aspek tersebut.
           Dalam masalah pelayanan ini, hal yang perlu saya garis bawahi bahwa itu meliputi garis vertikal ke atas, yakni upaya kita mempengaruhi decision making dalam hal politik, hukum dan perundang-undangan dengan cara aktif memberikan usulan, kritik dan koreksi. Kemudian juga meliputi garis vertikal ke bawah, yakni upaya kita menggulirkan produk-produk dalam ruang lingkup ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, tsaqafiyah, shihhiyah dan fanniyah di tengah masyarakat.
Produk-produk dalam ruang lingkup vertikal ke bawah akan menjadi basis dari upaya meluncurkan produk siyasah wal qanun ke atas. Dan produk siyasah wal qanun ke atas akan memayungi dan melindungi segala aktivitas pelayanan kita ke bawah. Artinya segala aktivitas kita yang menyebar di masyarakat perlu mendapat perlindungan politik dan hukum. Sebaliknya segala aktivitas yang berkaitan dengan masalah politik  dan hukum perlu mendapatkan basis berupa produk dan kerja nyata kita di bidang ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, fanniyah, iqtishadiyah dan sebagainya.
              Akhirnya, ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz kelima yang harus kita miliki adalah tamayyuz fii muamalah. Cara agar kita tampil beda dan istimewa dalam bermuamalah (bergaul) adalah bila kita bermuamalah bil ihsan. Allah berfirman,
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلاَّ الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).
              Dalam hadits juga disebutkan bahwa Allah menyuruh kita berbuat ihsan dalam segala urusan. Yang dimaksud dengan ihsan adalah kebaikan-kebaikan, apakah berupa kebaikan materi, sulukiyah, maupun sikap dan perilaku. Dalam menyalurkan kebaikan-kebaikan tersebut hendaknya kita membingkainya dengan akhlaqul karimah. Sebab betapa pun besar kebaikan yang diberikan, jika cara memberikannya tidak disertai dengan adab dan kesantunan, maka ia akan lebih dirasakan sebagai penghinaan dan bukan kebaikan.
             Inti muamalah adalah bagaimana kita menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat dengan dibingkai akhlaqul karimah. Maka masyarakat pun akan melihat bahwa kita mutamayyiz fii muamalah, istimewa dalam berinteraksi di masyarakat. Sebab upaya menanamkan pengaruh di masyarakat, pada hakikatnya adalah bagaimana kita merebut hati orang. Selain berupaya membuka hati mereka melalui program-program yang kita selenggarakan dengan baik, juga harus dengan kekuatan ta’abudi dan taqarrub kita kepada Allah, karena miftahul qulub, kunci hati ada di tangan Allah. Dengan kekuatan ikhtiar dan doa kita berharap kepada semoga Allah membukakan hati-hati mereka.
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Al-Intima’ Edisi 009 Tahun 2010

Kisah Sahabat Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'Anhu

Kisah Sahabat Salman Al-Farisi Radhiallaahu 'Anhu
( Sang Pencari Kebenaran )

Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun keduniaan.

Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam .

Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.

Salman radhiyallahu 'anhu sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.

Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam -- yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.

Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:

Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah nakh sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)

Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.

Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?

Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu!' Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu 'anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.

Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman radhiyallahu 'anhu tersebut.

Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.

Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka ... dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit ...

Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu 'anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu 'anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.

Salman radhiyallahu 'anhu seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.

Salman radhiyallahu 'anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu 'anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti....

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman radhiyallahu 'anhu, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:

Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai hunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir sabdanya:

Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru:
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .... Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Salman radhiyallahu 'anhu adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Ia berdiri di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah ....Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di kota Madain; sedang menceriterakan kepada shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya .. .! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan iman kepadanya ...!

Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.

Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: "Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!" Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. "Dari Syria",ujar mereka.

Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: "Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita". Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ....

Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai. Lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.

Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar, Sayang uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat ....dan mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari padanya.

Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: "Sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi. "Anakku!", ujamya: "tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul".

Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.

Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.

Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.

Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya: "Anakku.' Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya':

Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka: "Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?" "Baiklah", ujar mereka.

Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.

Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.

Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba.

Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara sepupunya yang mengatakan padanya:

"Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: "Apa kata anda?" Ada berita apakah?" Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya: "Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!" Maka aku pun kembalilah bekerja ...

Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kataku kepadanya: "Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini". Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.

"Makanlah dengan nama Allah". sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. "Nah, demi Allah!" kataku dalam hati, inilah satu dari tanda-tandanya ... bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah':

Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya: "Kulihat tuan tak hendak makan sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah'', lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama Allah ! ' Dan beliaupun turut makan bersama mereka. "Demi Allah': kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah ':

Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.

Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap henabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.

Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.

Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku:'Mintalah pada majihanmu agar ia bersedia membebashanmu dengan menerima uang tebusan."

Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya.

Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya ....

Corak manusia ulung manakah orang ini? Dan keunggulan besar manakah yang mendesak jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan membuatnya mungkin barang yang kelihatan mustahil? Kehausan dan kegandrungan terhadap kebenaran manakah yang telah menyebabkan pemiliknya rela meninggalkan kampung halaman berikut harta benda dan segala macam kesenangan, lalu pergi menempuh daerah yang belum dikenal -- dengan segala halangan dan beban penderitaan -- pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tak kenal letih atau lelah, di samping tak lupa beribadah secara tekun ...?

Sementara pandangannya yang tajam selalu mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan dan aliran mereka yang berbeda, sedang tujuannya yang utama tak pernah beranjak dari semula, yang tiada lain hanya mencari kebenaran. Begitu pun pengurbanan mulia yang dibaktikannya demi mencapai hidayah Allah, sampai ia diperjual belikan sebagai budak belian ...Dan akhirnya ia diberi Allah ganjaran setimpal hingga dipertemukan dengan al-Haq dan dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam mengisi ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan kemakmuran dan keadilan.. .!

Bagaimana akhir kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman radhiyallahu 'anhu adalah keislamannya orang-orang utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab.

Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman radhiyallahu 'anhu melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.

Pada suatu hari Salman radhiyallahu 'anhu bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkannya: "Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?" Maka jawab Salman radhiyallahu 'anhu: "Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!"

Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu 'anhu telah dipenuhi dengan ilmu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman radhiyallahu 'anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: "Salman radhiyallahu 'anhu dari golongan kami". Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: "Tidak, ia dari golongan kami!" Mereka pun dipanggil oleh Rasurullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait.

Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu 'anhu mendapat kehormatan seperti itu ...!
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menggelari Salman radhiyallahu 'anhu dengan "Luqmanul Hakim". Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: "Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering".

Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadii Salman radhiyallahu 'anhu telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka: "Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu 'anhu!" Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya ...

Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman radhiyallahu 'anhu hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu; kemudian di masa Amirul Mu'minin Umar radhiyallahu 'anhu; lalu di masa Khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu, di waktu mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya.

Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.

Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman radhiyallahu 'anhu? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu ...?

Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.

Nah, itulah dia Salman radhiyallahu 'anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: "Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham.

Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!"

Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar radhiyallahu 'anhum dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja.

Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.. .? kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya?

Katanya: "Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang manusia --, maka lakukanlah!" Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal?

Diriwayatkan eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: "Tunjangan Salman radhiyallahu 'anhu sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba'ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya".

Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi lagi Maha Pengasih.

Sa'ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu 'anhu menangis. "Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah",') tanya Sa'ad, "padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dalam keadaan ridla kepada anda?" "Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya:
Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya"

Kata Sa'ad: "Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!" Maka ujamya: "Wahai Sa'ad!

Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi.
Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian".

Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman radhiyallahu 'anhu mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya dan kepada semua shahabatnya, agar mereha tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.

Salman radhiyallahu 'anhu telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros .... Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?

Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman radhiyallahu 'anhu menurut dengan patuh. "Tolong bawakan barangku ini!", kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman radhiyallahu 'anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.

Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman radhiyallahu 'anhu memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: "Juga kepada amir, kami ucapkan salam" "Juga kepada amir?" Amir mana yang mereka maksudkan?" tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu 'anhu dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka: "Berikanlah kepada kami wahai amir!"

Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman radhiyallahu 'anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: "Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!

Suatu ketika Salman radhiyallahu 'anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: "Karena manis wahtu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!"

Pada waktu yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu 'anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: "Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus''

Apa sebenarnya yang kita sebut "rumah" itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai "rumah'' itu, Salman radhiyallahu 'anhu bertanya kepada tukangnya: "Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?" Kebetulan tukang bangunan ini seorang 'arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu 'anhu dan sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya: "Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya". "Benar", ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!"

Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman radhiyallahu 'anhu sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.

Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata Salman radhiyallahu 'anhu kepada isterinya: "Percikkanlah air ini ke sekelilingku ... Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah') yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: "Tutupkanlah pintu dan turunlah!" Perintah itu pun diturut oleh isterinya.

Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya ... Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama ....

Salman radhiyallahu 'anhu .... Lamalah sudah terobati hati rindunya Terasa puas, hapus haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya.
1) yang dimaksud makhluq Allah di sini, Malaikat.

Minggu, 26 Mei 2013

Yang Masuk ke Kas Partai PKS adalah Dana Halal

JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan dana yang masuk ke dalam kas partai merupakan dana halal. Semua laporan keuangan diaudit dan bendahara PKS selalu terbuka menjelaskan kepada siapapun, termasuk pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 "Walau ada transaksi misalnya Fathanah berkaitan dengan Pak Lutfhi Hasan Ishaaq, itu bicara uang yang belum diterima," kata Wasekjen DPP PKS, Mahfudz Siddiq, di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/5).
Jika memang uang senilai Rp 1 miliar itu memang diterima mantan presiden PKS tersebut, menurut Mahfudz perlu dibuktikan lebih lanjut. Apakah dana tersebut masuk ke kas partai atau tidak. Untuk membuktikannya, Ketua Komisi I DPR itu mengatakan caranya sangat mudah. Karena keuangan PKS selama ini selalu diaudit oleh akuntan publik yang resmi.
Mahfudz menjelaskan sumber-sumber pendanaan PKS selama ini sebagian besar berasal dari internal partai. PKS biasa menghimpun dana solidaritas bagi dunia Islam dan bantuan kemanusiaan dengan berbagai acara keumatan.

SIKAP YANG TEPAT MENGHADAPI FITNAH

Oleh : Ustdz. Dasnah, Spd

“Jika kamu bersabar dan bertaqwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” (Q.S. Al-Imran: 125)

Mengawali tulisan ini, penulis teringat dengan salah satu perang yang membawa kemenangan bagi pasukan Rasulullah Saw, perang Badr. Perang yang membakar semangat umat Islam, perang yang membuat penulis merinding tatkala membaca kisah-kisah keajaiban yang muncul karena bantuan yang dikirimkan oleh Allah. Seperti kata Allah pada kutipan ayat di atas. Dia datang menolong dien-Nya dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda dan entah dengan jalan apa lagi DIA akan menolong hamba-Nya yang selalu bersabar.

Dalam keadaan bagaimana pun, seruan Allah akan kesabaran ini amat banyak dalam kitab suci Al-Quran, hingga pantaslah jika ‘bersabar’ adalah pekerjaan berat yang akan diujikan kepada tiap hamba yang senantiasa berpegang teguh pada tali agama-Nya. Dan wajarlah bila balasan yang dijanjikan bagi orang yang bersabar adalah surga, sebab ia teramat berat untuk dijalani.

Ketika diri dilanda fitnah, maka di situlah awal sabar hendak ditanam. Tak usah khawatir akan fitnah. Sejak zaman Rasulullah, toh, perbuatan keji itu sudah ada. Masih jelas, amat kental dalam ingatan penulis, ketika orang paling munafik di kalangan Quraisy memfitnah Aisyah RA bahwa beliau sengaja berkhalwat (berduaan) dengan salah seorang sahabat. Padahal, berdasarkan kisah, sungguh hal itu tidaklah seperti yang dituduhkan. Begitu berbahayanya fitnah hingga berita tersebut menyebar di seluruh kalangan dengan begitu cepatnya. Bahkan, salah seorang sahabat, Abu Bakar Assiddiq RA yang dikenal dengan kelembutan hatinya sedemikian marahnya mendengar putrinya, Aisyah, berbuat demikian. Apatah lagi sang suami, lelaki paling mulia, Rasulullah SAW ketika mendengar kabar tersebut kemudian terbesit rasa percaya akan kabar tersebut, sungguh penyiksaan besar yang dirasakan oleh Aisyah RA semalam suntuk beliau menangis pedih. Tiga bulan lamanya ia dijauhi oleh Rasulullah, Saw. Bahkan sempat terdengar kabar, Abu Bakar RA rela putrinya diceraikan sekiranya kabar tersebut benar adanya. Itulah fitnah, punya kekuatan menumbangkan lawan atau musuh dari segi mental. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah. Namun, perlu kita ketahui bersama bahwa kebenaran akan terkuak dengan sendirinya. Kesabaran akan membuka tabir fitnah yang tak jelas itu. Jikalau Rasulullah memperoleh kebenaran dari adanya wahyu, tentulah manusia biasa pun akan diberikan jalan oleh-Nya.

Tak perlu risau dengan fitnah. Bukankah memang demikian adanya! KEBENARAN akan diiringi oleh KEBATILAN. Bukankah sangat jelas pula bahwa kemudahan menyertai kesulitan. “Inna ma’al ‘usrii yusroo” (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan), (QS. Al-Insyirah: 5). Usah resah akan fitnah yang bertandang jika diri sudah berjalan pada koridor yang tepat. Tak mestilah takut menggelayuti. Amat wajar kejujuran mendapat cobaan. Sudah lumrah kebenaran berteman dengan ujian. Semua sudah sunnatullah. Yang terpenting diri tahu bahwa pelaku fitnah alias‘munafik’ tempatnya adalah Hawiah, lapisan terbawah dari tujuh neraka. Yang jelas diri paham akan firman-Nya dalam Al-Quran surah Al- Baqarah: 217 “Walfitnatu akbaru minal qotli” (Sedangkan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan).

Sekali lagi, tak perlu galau bila diri dilanda fitnah. Janji Allah itu pasti, bahwa “Innalloha ma’a sshoobiriin” (Sesungguhnya Allah bersama dengan orang yang sabar). Surah Al-Imran pada pembukaan tulisan di atas pun amat jelas menerangkan kepada kita bahwa kesabaran adalah kunci kemenangan. Tak perlu memikirkan dengan cara apa Dia akan menolong. Dia jauh lebih punya kuasa dibanding dengan penyebar fitnah. Dia amat tahu melalui cara apa hamba itu dimudahkan-Nya.

Jaga Allah, maka Allah akan menjagamu. Itulah janji-Nya. Betapa indah ia memberikan janji kepada hamba-Nya. Tentulah, Dia akan dating dengan cara yang lebih indah. Penulis teringat dengan sebuah hadits hasan lagi shahih, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:

Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas RA berkata, “Suatu hari aku berada di belakang Nabi SAW lalu beliau bersabda, “Nak, akan aku ajarkan kepadamu beberapa patah kata, jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah, niscaya dia akan senantiasa bersamamu, dan bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan padamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya, kecuali yang telah ditulis oleh Allah bagimu, dan jika semua umat manusia bersatu padu mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang ditulis oleh Allah bagimu. Pena telah diangkat dan catatan-catatan itu telah mengering.

Sungguh dahsyat susunan hadits yang disabdakan oleh Rasulullah. Mudah-mudahan terpetik banyak hikmah. Satu hal yang mesti ditekankan dalam diri bila fitnah benar-benar bertandang adalah bahwa kemenangan akan selalu mengiringi kesabaran. Bersabar terhadap fitnah yang menghampiri insya Allah jalan keluar akan tampak jelas. Wallohu’alam bissawwab.

Jumat, 24 Mei 2013

Sumber Dana PKS Itu Dari mana ya??? kasi tahu gak ya!!

Juru bicara DPP PKS MardaniAli Sera membeberkan sistem pendanaan partai yang juga disebut sebagai infak. Dia menjelaskan, jumlah infak yang dipungut berbeda-beda sesuai dengan penghasilan kader.

"Makin besar penghasilan, makin besar infaknya," kata Mardani di Gedung Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (24/5/2013). Dia menjelaskan, setiap kader yang menjadi Menteri dan Anggota DPR RI, infak yang diwajibkan berjumlah Rp20 juta.

Uang tersebut langsung dipotong dengan cara autodebet dari rekening mereka.

"Tiap rekening otomatis terpotong," jelas Mardani.

Di samping itu, anggota legislatif juga punya kewajiban untuk memberikan infak ke DPW Provinsi dan DPD Kabupaten Kota.

"Kalau provinsi Rp2,5 juta, kalau kabupaten kota Rp 1 juta," jelasnya.

Selain itu, dia juga menjelaskan setiap kader diwajibkan membayar infak sekianpersen dari setiap penghasilannya. Persentase tersebut digolongkan berdasarkan penghasilannya.

"Kalau penghasilannya Rp3 juta ke bawah infaknya 2,5 persen. Lalu yang penghasilannya Rp3 juta hingga Rp5 juta dikenakan infak 3 persen. Lalu yang penghasilannya Rp5-10 juta itu kena empat persen. Yang penghasilannya Rp.10 juta ke atas dikenakan infak 5 persen dan yang penghasilannya Rp30 juta lebih dikenakan infak 7,5 persen," paparnya.

Lebih jauh Mardani menyebut, infak ini hukumnya wajib. Bahkan, setiap kader PKS yang tidak membayar akan mendapatkan hukuman. Hukuman itu dibagi ke dalam tiga macam.Sanksi pertama dengan hukuman ringan, yaitu disuruh menyebut istighfar,membaca quran dan bersilaturahmi. Lalu, sanksi menengah yakni, mendapatkan hukuman penurunan peringkat. Sedangkan sanksi berat berupa pemecatan atau dikeluarkan.

"Ada juga turun peringkat, seperti saya misalnya sekarang peringkatnya ahli, saya peringkat ke lima, di PKS itu ada 7 peringkat. Nah kalau misalnya saya kena sanksi saya bisa diturunkan ke peringkat 3. Di peringkat 5 ini saya bisa menjadi ketua DPW atau Anggota Majelis Syuro, tetapi kalau di peringkat 3, enggak bisa dan paling minim tingkatan DPD di kabupaten," ujarnya.

Berita Dusta DM-LHI, Wartawan Detik.Com Terancam Hukuman 12 Tahun Penjara

Belakangan tersiar kabar bahwa LHI mantan bos PKS pernah nikah dengan DM perempuan usia 18 tahun, berita ini berasal dari detik.com dan kemudian disebarluaskan oleh media-media online lainnya. Bahkan ada acara infotainment juga menampilkan kabar ini. Sumber yang menjadi rujukan adalah media detik.com. Saksi yang disebutkan dalam berita tersebut juga sangat absurd dan kabur, tetangga, satpam, tukang pijat dengan hanya mengatakan katanya, tanpa disertai bukti rekaman atau foto. Jadi kabar yang menyebar lebih pantas disebut berita gosip yang sangat dipertanyakan ketidak-validannya.

Bukti nyata tidak valid adalah dengan klarifikasi langsung dari Ibunda DM dan Gurunya yang secara profil jelas orangnya, mereka menyebutkan bahwa berita yang diberitakan detik.com adalah berita bohong dan mengada-ada.

Melihat fenomena tersebut, apakah para wartawan detik.com lupa bahwa akibat dari tulisan dan perbuatanya menyebabkan pihak lain dirugikan? Ingat bahwa ada ancaman pidananya yang tidak ringan, bisa saja wartawan dipenjara selama 12 tahun dan media nya terancam ditutup.  
Berdasarkan UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) disebutkan bahwa ada ancaman pidana 12 tahun bagi para penyebar berita dusta.

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
 
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Ancaman pidana seperti yang diatur pada Pasal 51 UU ITE:
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
 
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Jadi siap-siap saja para wartawan media elektronik seperti detik.com maupun cetak yang kerap kali memberitakan berita dusta akan masuk pengadilan dan dijerat bui.

baca juga: http://politik.kompasiana.com/2013/05/24/berita-dusta-dm-lhi-wartawan-detikcom-terancam-hukuman-12-tahun-558865.html

Menteri PKS Wajib Infaq Rp20 Juta Per Bulan ke Partai


Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat 24 Mei 2013 membeberkan sejumlah fakta terkait aliran dana yang selama ini mengalir ke kubunya. Ditegaskan Kepala Bidang Humas DPP PKS Mardani Ali sebagian besar dana tersebut murni hasil infaq para kader.
Infaq itu sifatnya wajib bagi para kader PKS. Aturannya, bagi mereka yang duduk di jabatan tinggi seperti di bangku DPR dan menteri wajib menginfaqkan gajinya sebesar Rp20 juta per bulan untuk PKS. "Sedangkan kader yang biasa-biasa saja, wajib mengeluarkan infaq 2,5 persen dari gajinya,” jelas Mardani pada VIVAnews.
Terkait peraturan dari pengeluaran infaq tersebut, Mardani menegaskan hukumnya wajib bagi para kader. Ada sanksi ringan hingga berat bagi mereka yang tak memenuhi kewajiban ini, dan itu sudah tertulis dalam aturan partai.

Sanksi yang paling ringan adalah teguran, seperti istigfar, wajib mengaji dan silaturahmi. Sedangkan sanksi terberat adalah pemecatan. "Itu jika dia sama sekali tak mau mengeluarkan rezekinya untuk berinfaq. Ada pula penurunan jabatan atau dia tidak bisa maju ke jenjang yang lebih tinggi,” ujar Mardani lagi.

Hal itulah yang meyakinkan Mardani bahwa tidak ada aliran dana apapun yang mengalir ke PKS dari luar. Mardani menambahkan, seluruh aliran dana yang mengalir ke PKS jelas dan ada bukti tertulis serta dikenal siapa pemberinya. PKS tengah digoyang kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Luthfi dan rekannya, Ahmad Fathanah dijadikan tersangka oleh KPK.

Sikap Muslim Dalam Menghadapi Fitnah

Berlindunglah Kepada Allah Ta’ala dari fitnah, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sering sekali berdoa meminta perlindungan dari Allah agar tidak terkena fitnah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan sudah memperingatkan umatnya akan timbulnya fitnah, sebagaimana dalam sebuah hadits shahih:
 
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ ». قَالُوا وَمَا الْهَرْجُ قَالَ « الْقَتْلُ »
Artinya: Zaman akan semakin dekat, dicabutnya ilmu, akan timbul fitnah-fitnah, dimasukkan (ke dalam hati) sifat kikir dan akan banyak al harj”, mereka (para shahabat) bertanya: “Apakah al harj, wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Pembunuhan”. HR. Bukhari dan Muslim.
Fitnah jika sudah datang maka akan datang bersamaan dengannya kerusakan sampai hari kiamat. Allah Ta’ala telah memperingatkan adanya fitnah, coba perhatikan firman-Nya:
{وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ} [الأنفال: 25]
Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. 8:25).
 
Makna fitnah adalah sesuatu yang genting, berubah-rubah, tidak ada stabilitas dan semisalnya, akibat dari penyimpangan terhadap ajaran islam.
 
 Kaidah-kaidah penting untuk seorang muslim dalam menghadapi fitnah:
 
1. Jika timbul fitnah, maka hendaklah hadapi dengan sikap hati-hati, tidak gegabah dan penuh kesabaran.
Hadapi dengan lemah lembut dan ramah tamah, karena Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
« إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ ».
Artinya: “Sesungguhnya kelemah lembutan (keramah tamahan) tidaklah ada di dalam sebuah perkara kecuali menghiasinya dan tidak dicabut (kelemah lembutan) dari sesuatu kecuali memburukkannya“. HR. Bukhari dan Muslim.
 Hadapi dengan sikap hati-hati (tidak gegabah) dan kesabaran, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asyajj Abdul Qais radhiayallahu ‘anhu:
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
Artinya: “Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu; kesabaran dan pelan-pelan (tidak gegabah)”. HR. Muslim.
 
2. Tidak menghukumi sesuatu kecuali sesudah mengetahui kejadian sebenarnya, sesuai dengan kaedah fiqih:
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Artinya: “Menghukumi sesuatu itu adalah termasuk bagian tentang gambaran sesuatu tersebut.”
Dan perlu diingat, suatu perkara tidak bisa diketahui kecuali dengan dua: dari kabar kaum muslim yang terpercaya dan dari berita orang yang meminta fatwa akan perkara tersebut meskipun orang yang minta fatwa tersebut adalah orang fasik.
 
3. Hendaklah selalu memegang sikap adil dan pertengahan (tidak berlebih-lebihan).
Karena firman Allah Ta’ala:
{وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى} [الأنعام: 152]
Artinya: “…Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu…,” (QS. 6:152).
Juga firman Allah Ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ } [المائدة: 8]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (QS. 5:8).
Dan arti sikap adil dan sikap pertengahan bukanlah berarti membenarkan yang salah dan menyalahkan yang batil tetapi menempatkan standar kesalahan dan standar kebenaran sesuai dengan syari’at Islam bukan dengan hawa nafsu, harap diperhatikan point ini.
 
4. Selalu bersatu dalam kesatuan kaum muslim di bawah kepemimpinan yang sah.
Karena hal inilah yang ditunjukkan Allah dalam firman-Nya:
{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ} [آل عمران: 103]
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. 3:103).
Dan berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ
Artinya: “Hendaklah kalian berjama’ah (di dalam kesatuan kaum muslimin) dan jauhilah dari perpecahan”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani.
Dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berpecah belah ketika sudah jelas keterangan dan dalil bagi dia, firman Allah Ta’ala:
{وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (105)} [آل عمران: 104، 105]
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104) Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. 3:105).
 
5. Slogan, bendera, visi dan yang semisalnya yang dibawa ketika fitnah harus ditimbang oleh seorang muslim dengan timbangan syari’at agama Islam, timbangannya Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Dan timbangan yang digunakan ada dua macam: pertama, timbangan yang digunakan untuk mengukur apakah bendera, visi, misi, slogan merupakan agama Islam, kalau tidak, berarti kebalikan Islam yaitu kekufuran. Dan kedua, timbangan yang digunakan untuk mengukur apakah bendera, visi, misi dan yang semisalnya sesuai dengan islam yang benar, kalau tidak, berarti kebalikan Islam yang benar adalah Islam yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ} [الأنبياء: 47]
Artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan”. (QS. 21:47).
 
6. Setiap perkataan dan perbuatan di dalam setiap fitnah harus ada dhawabith (ukuran yang tepat).
Karena tidak semua perkataan yang anda anggap baik itu cocok untuk dikatakan dalam fitnah tertentu, begitu pula tidak semua perbuatan yang anda anggap baik itu cocok untuk diperbuat di dalam fitnah tertentu.
Karena setiap perkatan ataupun perbuatan akan mendatangkan beberapa perkara yang lain.
Oleh sebab itu ada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.

Artinya: “Tidak anda berbicara dengan suatu kaum sebuah pembicaraan yang tidak bisa dipahami oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka”. HR.Muslim.
 
7.    Jika terjadi fitnah, maka bersatulah dengan kaum muslimin apalagi para ulama.
Dan para ulama yang merupakan referensi (tempat kembali kaum muslimin) adalah mereka yang mempunyai dua sifat: pertama, dari ulama Ahlus sunnah yang mengerti tentang tauhid, sunnah dan yang lainnya yang berdasarkan pemahaman para shahabat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kedua, yang benar-benar paham akan hukum-hukum islam secara menyeluruh, paham akan kaedah-kaedah dasar, akar-akar permasalahan, sehingga mereka tidak mempunyai kesamaran dalam menghadapi permasalahan.
 
8. Seorang muslim tidak boleh menurunkan hadits-hadits tentang fitnah yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada fitnah yang lagi berlangsung, misalkan dengan mengatakan : “Inilah fitnah yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, atau dengan mengatakan: “Inilah orang yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal fitnah tersebut masih berlangsung belum selesai, boleh kita mengatakan seperti itu ketika fitnah tersebut sudah selesai sebagai pernyataan seorang muslim akan berita yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
 
Tulisan ini disarikan dari kitab berjudul “Adh Dhawabit Asy Syar’iyyah Limauqif Al Muslim Min Al Fitan” (kaidah-kaidah Syariat tentang sikap seorang muslim dalam menghadapi keadaan-keadaan genting), karya Syeikh Shalih Alu Syeikh hafizhahullah, Menteri Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan untuk Kerajaan Arab Saudi. Alih Bahasa: Abu Abdillah Ahmad Zainuddin.