Janji Para Pemimpin dengan Allah
oleh: Shalih Hasyim
BERBEDA dengan
masyarakat biasa, ia lahir langsung menjadi rakyat tanpa melewati
sejumlah seleksi. Sedangkan menjadi seorang pemimpin, tidak mudah dan
sederhana. Ia diakui menjadi pemimpin melalui proses yang panjang dan
alami (natural). Terlebih dahulu ia diuji keunggulannya dalam sebuah
komunitas yang ia berada di dalamnya.
Amanah kepemimpinan ini telah ditawarkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala kepada langit, bumi dan gunung, tetapi semuanya tidak
menyanggupinya khawatir mengkhianatinya. Maka manusia siap memikulnya.
Kemudian manusia berlaku zhalim karena miskin iman dan berbuat jahil
karena kurang ilmu.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas
keagamaan, wadzifah diniyyah] kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab (33) : 72).
Memang, tidak sederhana menjadi pemimpin. Disamping mendapatkan SK
langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala , pemimpin juga bertanggungjawab
terhadap yang dipimpinnya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah (2) : 30).
Bahkan, kemampuan kepemimpinan Nabi Adam as setelah dibimbing langsung oleh Allah Subhanahu Wata’ala .
عَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى
الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ
صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!." (QS: Al Baqarah (2) : 31).
Jadi, ada dua dimensi tanggungjawab yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin. Yaitu, mengadakan kontrak vertikal dan kontrak horizontal. Jika seorang pemimpin khilaf terhadap Allah Subhanahu Wata’ala maka Ia adalah Maha Pengampun. Sedangkan manusia, pada umumnya pendendam. Jika terjadi haqqul adami (hak-hak anak Adam) yang dirampas, maka ia menanggung dosa yang manggantung. Allah Subhanahu Wata’ala tidak menghapus dosanya sebelum ia menyelesaikan dengan yang dipimpinnya.
Seorang yang lemah dalam kompetensi dan komiteman dalam memikul jabatan pemimpin akan berakhir dengan penyesalan.
Pernah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam mengingatkan kepada
sahabat Abu Dzar Al Ghiffari untuk berambisi menjadi pemimpin, karena
menurut beliau ia adalah seorang yang lemah. Kelemahan itulah yang
menjadi kendala untuk menjalankan roda kepemimpinan.
Setidaknya ada dua persyaratan pokok yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin. Di antara dua kode etik komitmen, sebagaimana sifat yang melekat dalam diri para utusan-Nya, yakni shiddiq (jujur antara perkataan dan perbuatan) dan amanah (dapat dipercaya).
Setidaknya ada dua persyaratan pokok yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin. Di antara dua kode etik komitmen, sebagaimana sifat yang melekat dalam diri para utusan-Nya, yakni shiddiq (jujur antara perkataan dan perbuatan) dan amanah (dapat dipercaya).
Kemudian dua kode etik kompentensi adalah Tabligh (memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan yang dipimpin) dan Fathonah (cerdas
dan cepat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya). Dua kode
etik tersebut sudah menggambarkan sosok pemimpin yang ideal.
Keberhasilan dalam memikul amanat kepemimpinan, faktor keberuntungan dan keselamatannya di akhirat kelak.
Keberhasilan dalam memikul amanat kepemimpinan, faktor keberuntungan dan keselamatannya di akhirat kelak.
ماَمِنْ عَشِيْرَةٍ اِلاَّ أَنْ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِياَمَةِ
مَغْلُوْلَةٌ يَدَهُ اِلَى عُنُقِهِ اِماَّ أَطْلَقَهُ عَدْلُهُ أَوْ
أُوْبَقَهُ جُوْرُه
“Tidak ada satu pun penguasa yang menanggung keperluan rakyat
melainkan pada hari keadilannya atau dibinasakan oleh kezhalimannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
اَلْمُقْسِطَوْنَ عَلَى مَناَبِرِ مِنْ نُوْرٍ الذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِيْ حُكْمِهِمْ وَماَ وَلُّوْ
"Para pemimpin yang adil akan tinggal di atas panggung-panggung
yang terbuat dari cahaya, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam
memutuskan perkara dan mengurus ahli-ahlinya serta segala sesuatu yang
diserahkan kepadanya.” (HR. Muslim, Nasai dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Agar sukses melaksanakan kode etik tersebut, seorang pemimpin
dituntut melaksanakan fungsi yang diembannya sebagaimana gelar yang
disematkan pada seorang pemimpin dalam sejarah Islam. Gelar yang
disematkan dalam diri pemimpin adalah Imam, Khalifah, Amir, Ra’in
(khadim), dan Waliyyul Amr. Kelima gelar tersebut sekaligus
menggambarkan fungsi yang dipikul di atas pundak seorang pemimpin
DALAM siyasah Islamiyah (politik Islam) pemimpin dalam istilah Arab dikenal imam, artinya berada di depan (dapat dijadikan teladan). Dari kata Imam melahirkan kata turunan umm (ibu). Artinya seorang pemimpin seharusnya bisa dijadikan rujukan (referensi). Kemudian melahirkan kata turunan berikutnya umat. Maka:
1. Seorang pemimpin sepatutnya berpihak dan mencintai umat yang
dipimpinnya. Jika seorang pemimpin dapat dijadikan keteladanan dan
dirujuk serta mencintai yang dipimpin, maka disamping pemimpin tersebut
secara formal memiliki legalitas maka secara informal legitimed.
3. seorang pemimpin dituntut memiliki ketegasan dalam memberikan
intruksi (amir). Sebab, bagaimanapun kepandaian seorang pemimpin tetapi
komando kebawah mengalami disfungsi, maka sebenarnya keberadaannya
tidak efektif.
Dua prajurit yang saling bekerjasama lebih baik daripada dua jendral
yang saling berseberangan. Karena, kemampuan dalam membangun team work
yang kompak, indikator keberhasilan kepemimpinan.
4. seorang pemimpin adalah pengembala dan pelayan yang dipimpinnya (ra’in dan khadim).
Dia dicintai oleh yang dipimpinnya jika ia benar-benar mendengar dan
melayani mereka. Sebagaimana perkataan Umar bin Khathab yang terkenal; “Sayyidul Qaumi Khadimuhum”
(penghulu suatu kaum adalah yang dapat melayani mereka). Kualitas
kepemimpinan seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya berorasi (katsratur riwayah), tetapi banyaknya mendengar dan melayani (katsratul istima’ war ri’ayah).
5. seorang pemimpin adalah yang dengan senang hati mengurus urusan yang dipimpinnya (waliyyul amr).
Karena, ketika ia menjadi pemimpin bukanlah ia hanya milik keluarga dan
kelompoknya, tetapi ia adalah milik umat. Oleh karena itu ia dituntut
berjiwa besar (menampung segala karakter manusia). Ia dituntut berjiwa
permadani (menampung berbagai watak manusia). Ia tidak berfikir duntuk
kepentingan orang-orang terdekatnya saja, tetapi mengutamakan orang
banyak, utamanya kaum lemah. Dimana kaum lemah adalah berjumlah
mayoritas di mana pun dan kapan pun.
Kelima kriteria tersebut jika dilaksanakan dalam proses kepemimpinan, maka akan menjadi pemimpin yang legal dan legitimed.
Ia pandai meletakkan dirinya, menyikapi dirinya, memandang dan
mempersepsikan orang lain dalam sebuah komunitas. Ketika berada di depan
dapat dijadikan teladan dan rujukan (ing ngarso sung tuladha), berada
di tengah dapat membangun kelompok kerja (ing madya mangun karso),
berada di belakang dapat memberikan motivasi (tut wuri handayani).
http://www.hidayatullah.com/read/28669/22/05/2013/kontrak-para-pemimpin-dengan-allah-azza-wa-jalla-%282%29.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar