Oleh Hilmi Aminuddin
Ikhwah dan akhwat fillah, saat ini gerakan dakwah kita memiliki
rakizah siyasiah, yakni stressing atau titik tekan pada bidang politik.
Hal ini perlu saya garis bawahi, mengingat ada beberapa hal yang
kadang-kadang menyebabkan kita mengalami keterjebakan situasional.
Misalnya ada yang mengatakan atau menganggap kita masuk ke dalam mihwar
siyasi (era politik).
Padahal dalam manhaj kita, hanya dikenal mahawir arba’ah atau empat
era yang di dalamnya tidak ada mihwar siyasi (era politik) sebagaimana
halnya tidak ada mihwar tarbawi (era pembinaan). Keempat mihwar dakwah
tersebut ialah mihwar tanzhimi (structural), mihwar sya’bi (masyarakat),
mihwar muassasi (kelembagaan) dan mihwar daulah (negara). Di setiap
mihwar dari empat mihwar dakwah tersebut terkandung amal siyasi
(aktivitas politik) dengan tingkat persentase yang berbeda-beda, karena
amal siyasi adalah bagian tidak terpisahkan dari amal da’wi (aktivitas
dakwah) kita.
Ikhwah dan akhwat fillah, seringkali dalam menghadapi situasi,
kondisi-kondisi, aksi-aksi dan tantangan-tantangan tertentu kita lupa
untuk merujuk atau kembali ke manhaj (pedoman). Padahal penguasaan kita
akan manhaj, insya Allah cukup baik, apakah itu di ruang lingkup manhaj
asasi, yakni Alquran dan Sunah ataupun di ruang lingkup produk ijtihad
jama’ah kita yang tentunya juga bersumber dari Alquran dan Sunah.
Langkah-langkah perjuangan dalam bentuk manhaj amali (pedoman aktivitas)
tersebut cukup untuk dapat merespon dan mengantisipasi segala
perkembangan. Hanya saja kita seringkali lupa merujuk ke manhaj
tersebut. Boleh jadi karena keterdesakan kita di lapangan atau kesibukan
yang demikian padat.
Agar lebih jelas, saya ingin sedikit mengulang penjelasan-penjelasan
tentang stressing di masing-masing mihwar. Pada mihwar tanzhimi,
rakizatul amal (stressing kerja) kita berupa bina syakhshiyah islamiah
dan syakhshiyah da’iyah atau mewujudkan sosok pribadi islami dan pribadi
da’iah. Juga bagaimana kita berusaha mengokohkan mishdaqiyah
syakhsyiah islamiyah dan mishdaqiyah syakhshiyah da’iyah atau
kredibilitas pribadi islami dan kredibilitas pribadi da’iyah.
Di era atau mihwar tanzhimi tersebut yang selalu kita ukur dan
evaluasi adalah tingkat pertumbuhan kader dalam arti pertumbuhan dan
perkembangan kader-kader kita secara internal. Bahkan ketika kita
mengukur, mengevaluasi diri dari segi eksternal, yang kita lihat pun
sejauh mana pertumbuhan calon kader yang dapat direkrut menjadi kader.
Jadi di masa itu orientasinya adalah perekrutan, pembinaan, pertumbuhan
dan perkembangan kader-kader dakwah.
Kemudian dakwah kita berkembang dan memasuki mihwar atau era sya’bi.
Di era ini kita mulai ber-sya’biah atau mensosialisasikan siri,
kader-kader dan program-program dakwah kita di masyarakat. Sasaran yang
ingin dicapai di mihwar ini adalah mishdaqiyah syakhshiyah ijtima’iyah
atau kredibilitas sebagai pribadi yang diterima di masyarakat. Kita
berupaya keras agar kader-kader kita memiliki kredibilitas tersebut. Di
mihwar sya’bi ini kita bukan hanya menerapkan tolak ukur kuantitas
berupa pertumbuhan dan perkembangan kader, melainkan juga sejauh mana
kader-kader yang kita miliki memberi pengaruh di masyarakat.
Ikhwah dan akhwat fillah, di mihwar tanzhimi kita sudah mulai
melaksanakan program-program yang merupakan mukadimah atau pengkondisian
ke arah mihwar sya’bi. Begitu pula di mihwar sya’bi, kita sudah
melakukan langkah-langkah pendahuluan yang sekaligus merupakan
condisioning untuk menuju mihwar muassasi.
Alhamdulillah, Allah Ta’ala memberikan peluang yang mempercepat
masuknya kita ke mihwar muassasi. Kita memang sudah membuat
langkah-langkah mukadimah menuju mihwar muassasi berupa pendirian
yayasan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan lain
sebagainya. Namun perubahan-perubahan cepat yang terjadi yang antara
lain dipicu dan dipacu oleh globalisasi ekonomi, politik dan lain-lain
serta krisis ekonomi—dan tentu saja sebab utamanya adalah tadbirullah
(rekayasa Allah), membuat peluang untuk memunculkan diri dalam bentuk
kelembagaan formal terbuka lebar. Maka mulailah kita memasuki mihwar
muassasi dengan menampilkan diri sebagai Hizbul ‘Adalah (Partai
Keadilan). Kita menyebutnya mihwar muassasi dan bukan mihwar siyasi,
walaupun memang dalam mihwar muassasi sebagaimana halnya di mihwar
tanzhimi dan sya’bi terkandung aspek-aspek siyasi. Dan karena di mihwar
muassasi ini sudah menyentuh aspek kelembagaan politik, maka persentase
amal siyasinya pun meningkat.
Upaya memantapkan langkah-langkah secara struktural dan operasional
di mihwar muassasi ini juga akan menyentuh sektor amal siyasi. Sekali
lagi saya tegaskan bahwa amal siyasi merupakan sektor. Sebab bila kita
mengatakan mihwar kini sebagai mihwar siyasi berarti kita terjebak ke
dalam amal juz’i dan sekaligus harakah juz’iah, seperti halnya kita
tidak bisa mengatakan sebagai mihwar tarbawi agar tidak terjebak juga
pada ke-juz’iyah-an atau keparsialan. Jadi setiap mihwar memiliki
beragam amal sesuai dengan ke-syumuliah-an dan ke-takamuliah-an amal
Islam.
Ikhwah dan akhwat fillah, karena itu di setiap mihwar dibutuhkan
adanya ke-tawazun-an antar amal. Ke-tawazun-an adalah proporsionalitas
dalam pemberian peran-peran, pendayagunaan dan pengerahan
potensi-potensi SDM. Kata proporsionalitas menunjukkan adanya ketepatan
atau akurasi penyaluran potensi sesuai dengan tuntutan medan dan
situasi-kondisi serta aksi-aksi yang kita lakukan.
Oleh karena itu, ikhwah dan akhwat fillah, betapa pun kita dituntut
untuk merespon situasi dan kondisi saat ini dengan proporsionalitas yang
menuntut porsi lebih di bidang politik, tetap saja kita tidak boleh
mengabaikan amal tarbawi (pembinaan), amal tsaqafi (penambahan wawasan),
amal khairi (sosial), amal ijtima’i (kemasyarakatan) dan lain-lain.
Masalah stressing atau penekanan di sektor tertentu pada moment tertentu
adalah hal yang biasa. Misalnya di bulan Ramadhan kita meliburkan
halaqah-halaqah tarbawi internal, karena kita ingin merespon amal khairi
dan taabbudi (ibadah) di bulan mulia tersebut. Kita berkonsentrasi
meningkatkan tadayyun sya’bi (keberagamaan masyarakat) karena terdapat
katsafah furshah (peluang yang luas) di bulan Ramadhan.
Jadi bila kini menjelang pemilu kita merespon tuntutan amal siyasi
yang membesar, itu merupakan masalah proporsionalitas tanpa harus
mengabaikan bidang-bidang lain. Sehingga memadatnya aktivitas politik
kita menjelang pemilu tidak berarti kita terjebak dalam mihwar politik.
Mihwar kita adalah mihwar muassasi, artinya secara kelembagaan kita
mulai menampilkan diri seluruh batang tubuh ke permukaan dengan nama
Hizbul ‘Adalah.
Ikhwah dan akhwat fillah, mihwar muassasi ini akan terus berkembang
ditandai dengan bertambahnya muassasah atau lembaga infrastruktur sosial
politik kemasyarakatan baik yang kita bangun sendiri atau yang kita
warnai (muassasah yang dibangun oleh ikhwah seperjuangan dalam Islam,
yaitu ormas atau parpol lain), dan nantinya juga kita bisa melebarkan
sayap dengan memasuki secara langsung lembaga-lembaga suprastruktur dan
infrastruktur kenegaraan. Hal ini merupakan bagian dari mihwar muassasi
dan merupakan langkah-langkah awal yang akan menjembatani masuknya kita,
Insya Allah, mustaqbalan (di masa mendatang) ke dalam mihwar daulah.
Hal penting yang harus kita perhatikan di dalam mihwar muassasi ialah
bahwa kita bukan sekadar memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan
partai, melainkan juga mengupayakan bagaimana aqidah, fikrah dan manhaj
kita mewarnai infrastruktur sosial politik di masyarakat atau
infrastruktur kenegaraan dan kemudian akhirnya supra struktur
kenegaraan. Lembaga infrastruktur dan suprastruktur negara akan kita
masuki jika tingkat proporsi penyebaran SDM dan pengaruh kita di ruang
lingkup kelembagaan infrastruktur kemasyarakatan atau sosial politik
sudah memadai. Barulah kemudian kita melangkah ke dalam mihwar daulah.
Dalam hal ini ingin saya ingatkan bahwa setiap mihwar memiliki
perimbangan proporsi amal yang berbeda-beda dan dapat berubah-ubah.
Hendaknya hal ini tetap dalam ruang lingkup ke-tawazun-an dan
keterpaduan amal islami.
Tamayyuz
Langkah-langkah amal kita harus mutamayyiz. Kita bergaul bersama,
berpacu, namun nahnu mutamayyyizun (kita berbeda). Kata tamayyuz
mengandung pengertian keberbedaan yang mengandung keistimewaan. Jadi
bukan asal beda, melainkan mutamayyiz ’an ghairina, berbeda yang
mengandung keistimewaan dari yang lainnya. Kita mengetahui slogan yang
dikumandangkan oleh Syahid Sayyid Quthb, yaitu yakhtalithun walakin
yatamayyazun, kita berbaur, bergaul, bersilaturahmi, ber-tawashau bil
haq, ber-tawashau bis shabri, tawashau bil marhamah dengan seluruh
lapisan umat, namun nahnu mutamayyizun, kita berbeda.
Tamayyuz—kespesifikan ini penting agar menjadi arahan yang memudahkan
masyarakat untuk mendukung kita.
Pertama-tama tamayyuz kita adalah dalam ruang lingkup SDM. Kita harus
mutamayyiz fii rijal. Kita harus sanggup menampilkan tamayyuz fii
rijal, keistimewaan SDM atau personil.
Ikhwah dan akhwat fillah, dalam memasuki mihwar muassasi yang
kedudukannya merupakan langkah-langkah mukadimah menuju mihwar daulah,
rijalud da’wah atau SDM dakwah kita seyogianya sekaligus juga memiliki
bobot dan bakat yang akan dikembangkan menjadi rijalud daulah atau sosok
negarawan yang memiliki visi kenegaraan yang baik.
Kita sudah memiliki kader-kader yang berbasis akidah, fikrah dan
minhaj yang baik. Kini tinggal berupaya bagaimana kita mengekspresikan
diri dan mengaktualisasikan diri secara atraktif. Bukan berarti kita
riya, melainkan semata-mata dalam kerangka ‘isyhadu bi anna muslimin”,
saksikan kami ini orang-orang Islam. Kita mencoba memperjelas,
mengedepankan tampilan produk islamisasi rijal kita.
Paling tidak ada lima kespesifikan, keunikan atau keistimewaan yang—Alhamdulillah—dimiliki oleh jamaah kita, yaitu:
- Mutamayyiz fii rijal (keistimewaan SDM)
- Mutamayyiz fi adaa (keistimewaan penunaian tugas)
- Mutamayyiz fii intaj (keistimewaan sentuhan produk)
- Mutamayyiz fii khidmah (keistimewaan pelayanan)
- Mutamayyiz fii muamalah (keistimewaan bermasyarakat)
Keistimewaan yang pertama ialah mutamayyyiz fii rijal atau
keistimewaan personil dakwah. Keistimewaan personil dakwah atau SDM ini
dilandasi oleh tamayyuz fii aqidah, fikrah, minhaj dan akhlaq. Modal
utama berupa keistimewaan dalam akidah, fikrah, minhaj dan akhlak sangat
berdayaguna dalam membangun mishdaqiyah syakhshiayah da’iyah
(kredibilitas pribadi muslim dan da’iyah).
Namun keistimewaan SDM ini harus ditunjang oleh tamayyuz fii adaa
atau keistimewaan dalam penunaian tugas. Jadi kita harus mutamayyiz fii
adaa. Dalam menunaikan tugas, kita memiliki modal berupa motivasi yang
tinggi yang dibangun oleh aqidah kita. Kemudian idealisme yang besar
yang dibangun oleh fikrah kita dan langkah-langkah kerja yang tertib
teratur yang dibangun oleh manhajiah kita.
Kesemuanya itu menjadi modal dalam menunaikan ruhul badzli wa
tadhhiyah karena dilandasi niat yang khalishan li wajhillah ta’ala.
Ruhul badzli wa tadhhiyah adalah modal motivasi, militansi dan vitalitas
stamina yang dibangun oleh akidah, fikrah, akhlak dan semangat ibadah
kita. Kesemuanya itu menjadi modal utama dalam tamayyuz fii adaa yang
kemudian ditopang pula oleh kemampuan dalam takhtit,
perencanaan/programming dan idariah/ manajemen.
Kelengkapan modal tersebut membuat kita mutamayyiz fi adaa, istimewa
dalam penunaian tugas. Kita tidak menjadi orang-orang yang menunaikan
tugas secara infiradiyah, sekenanya, seketemunya dan seadanya di
lapangan, melainkan benar-benar mutamayyiz fii adaa karena di back up
oleh faktor-faktor mental, moral dan ideal serta faktor-faktor
konsepsional, berupa perencanaan dan manajemen yang baik. Jika kita
berhasil menampilkan adaa’ul wazhaif (penunaian tugas secara baik),
insya Allah keistimewaan kita akan muncul di tengah masyarakat.
Apalagi bila diikuti dengan keistimewaan produk-produk yang kita
hasilkan yang menimbulkan kesan dan pengaruh yang kuat di masyarakat
karena mau tidak mau masyarakat memang menilai dan mengukur masalah
produktivitas.
Karena itu, keistimewaan yang ketiga yang harus kita miliki adalah
tamayyuz fii intaj. Program-program yang kita gulirkan harus terasa
hasilnya di masyarakat. Sudah tentu yang dimaksudkan terasa, tidak
selalu harus dalam bentuk produk materi. Bahkan sebagian besar yang kita
miliki bukan berupa produk materi, melainkan pendekatan ilmi, shihhi,
ijtima’i, ma’nawi dan sebagainya
Ikhwah dan akhwat fillah, sudah sewajarnyalah masyarakat mengharap
dan menunggu-nunggu produk-produk nyata yang dihasilkan oleh
parpol-parpol dan kelompok-kelompok organisasi yang menjamur belakangan
ini. Oleh karena itu kita harus mampu menyajikan produk yang mutamayyiz
kepada masyarakat jika ingin mendapatkan sambutan publik yang baik.
Tamayyuz dalam produk bukan diukur dari segi kuantitasnya, melainkan
dari segi kualitas sentuhannya yang terasa di hati masyarakat.
Ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz yang berikutnya yang juga harus
kita miliki ialah tamayyuz fii khidmatan lis muslimin (keistimewaan
dalam pelayanan kepada muslimin), khidmatan lin naas (pelayanan kepada
manusia), sehingga kita akan tampil mutamayyiz fii khidmah (istimewa
dalam pelayanan). Ada pepatah Arab berbunyi, “An-naas yuwalluna man
yakhdimuhum,” (manusia akan memberikan wala atau loyalitas kepada
orang-orang yang melayaninya). Karenanya ada juga pepatah lain,
“Sayyidul qaum khaadimuhum” (Pemimpin suatu kaum [bangsa] adalah pelayan
bagi kaum tersebut).
Bila kita tampil sebagai lembaga yang paling piawai memberikan
pelayanan kepada masyarakat, maka ia pun akan mendapatkan sambutan lebih
dibanding dengan yang lain. Pelayanan kepada masyarakat tidak harus
selalu diartikan pelayanan fisik, materi yang bersifat langsung,
simbolik, atraktif dan promotif, misalnya pemimpin datang memberikan
bantuan materi kepada bawahannya. Hal itu hanya merupakan sebagian kecil
dari ruang lingkup pelayanan kepada masyarakat. Memang hal itupun perlu
juga sekali-kali kita lakukan, namun yang lebih penting adalah
bagaimana kerja keras kita, mengupayakan terjaminnya kemaslahatan
masyarakat dalam dua hal yang digariskan Allah dalam Q.S. Quraisy: (1)
Terjaminnya masyarakat dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang asasi
أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ (terbebasnya dari kelaparan) dan (2) Kebutuhan
akan rasa aman atau terbebas dari ketakutan, ketidakpastian, intimidasi,
kediktatoran dan kezhaliman (وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ).
Kedua hal tersebut juga berkaitan dengan لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ atau
masalah qalb (hati) dan وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ atau berkaitan dengan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasadiyah. Ruang lingkup pelayanan kita
harus meliputi kedua aspek tersebut.
Dalam masalah pelayanan ini, hal yang perlu saya garis bawahi bahwa
itu meliputi garis vertikal ke atas, yakni upaya kita mempengaruhi
decision making dalam hal politik, hukum dan perundang-undangan dengan
cara aktif memberikan usulan, kritik dan koreksi. Kemudian juga meliputi
garis vertikal ke bawah, yakni upaya kita menggulirkan produk-produk
dalam ruang lingkup ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, tsaqafiyah,
shihhiyah dan fanniyah di tengah masyarakat.
Produk-produk dalam ruang lingkup vertikal ke bawah akan menjadi
basis dari upaya meluncurkan produk siyasah wal qanun ke atas. Dan
produk siyasah wal qanun ke atas akan memayungi dan melindungi segala
aktivitas pelayanan kita ke bawah. Artinya segala aktivitas kita yang
menyebar di masyarakat perlu mendapat perlindungan politik dan hukum.
Sebaliknya segala aktivitas yang berkaitan dengan masalah politik dan
hukum perlu mendapatkan basis berupa produk dan kerja nyata kita di
bidang ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, fanniyah, iqtishadiyah dan
sebagainya.
Akhirnya, ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz kelima yang harus kita
miliki adalah tamayyuz fii muamalah. Cara agar kita tampil beda dan
istimewa dalam bermuamalah (bergaul) adalah bila kita bermuamalah bil
ihsan. Allah berfirman,
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلاَّ الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).
Dalam hadits juga disebutkan bahwa Allah menyuruh kita berbuat ihsan
dalam segala urusan. Yang dimaksud dengan ihsan adalah
kebaikan-kebaikan, apakah berupa kebaikan materi, sulukiyah, maupun
sikap dan perilaku. Dalam menyalurkan kebaikan-kebaikan tersebut
hendaknya kita membingkainya dengan akhlaqul karimah. Sebab betapa pun
besar kebaikan yang diberikan, jika cara memberikannya tidak disertai
dengan adab dan kesantunan, maka ia akan lebih dirasakan sebagai
penghinaan dan bukan kebaikan.
Inti muamalah adalah bagaimana kita menyebarkan kebaikan di tengah
masyarakat dengan dibingkai akhlaqul karimah. Maka masyarakat pun akan
melihat bahwa kita mutamayyiz fii muamalah, istimewa dalam berinteraksi
di masyarakat. Sebab upaya menanamkan pengaruh di masyarakat, pada
hakikatnya adalah bagaimana kita merebut hati orang. Selain berupaya
membuka hati mereka melalui program-program yang kita selenggarakan
dengan baik, juga harus dengan kekuatan ta’abudi dan taqarrub kita
kepada Allah, karena miftahul qulub, kunci hati ada di tangan Allah.
Dengan kekuatan ikhtiar dan doa kita berharap kepada semoga Allah
membukakan hati-hati mereka.
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Al-Intima’ Edisi 009 Tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar