I. Isi Hadits:
Dari Abul ‘Abbas’ Abdullah bin ‘Abbas’,
Ia mengatakan, “Pada suatu hari aku pernah dibonceng di belakang Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, kemudian beliau bersabda: ‘Wahai anak
muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah ALLAH,
niscaya ALLAH akan menjagamu. Jagalah ALLAH, maka engkau akan
mendapati-NYA di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah
kepada ALLAH, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan
kepada ALLAH. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk
memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi
manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan ALLAH
untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu
kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan
suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah
ALLAH tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah
kering.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Dalam riwayat selain At-Tirmidzi disebutkan:
“Jagalah ALLAH, maka engkau akan
mendapati-NYA di hadapanmu. Kenalilah ALLAH ketika senang, maka Dia akan
mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak
akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.
Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama
kesempitan, dan bahwasannya bersama kesulitan ada kemudahan.”
II. Biografi Perawi Hadits:
“Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
adalah seorang sahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan. Nama
lengkapnya adalah “Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muth-thalib al-Hasyimi
al-Qurasyi, anak dari paman Rasulullah. Beliau dilahirkan di Makkah, di
Syi’b (lembah) bani Hasyim, tepatnya tiga tahun sebelum hijrah, yaitu
saat Rasulullah dan kaum muslimin diboikot oleh musyrikin quraisy.
Beliau adalah penafsir Al-Qur’an dan
pemuka kaum muslimin dalam bidang tafsir. Karena keluasan ilmunya dalam
bidang tafsir, bahasa dan sya’ir Arab, beliau diberi gelar sebagai ulama
dan lautan ilmu. Beliaulah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud sebagai
sebaik-baik penerjemah Al-Qur’an. Dan ketika Rasulullah wafat, beliau
berusia 13 tahun.
Beliau dipanggil oleh para Khulafa-ur
Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangannya dalam berbagai
perkara. Beliau menjadi gubernur pada zaman ‘Utsman tahun 35 H, ikut
serta bersama ‘Ali untuk memerangi kaum Khawarij, dan beliau adalah
orang yang cerdas dan kuat hujjahnya.
Beliau menjadi ‘Amir (gubernur) di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 Hijriyah.
III. Fiqih Hadits:
- Jagalah ALLAH!!
Maksudnya adalah menjaga batas-batas
ALLAH, hak-hak NYA, serta menjaga perintah-perintah dan
larangan-larangan NYA. Yang dimaksud dengan menjaga batas-batas
ALLAH ta’ala adalah dengan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan serta
meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh ALLAH dan menjaga hak-hak
ALLAH, sedangkan hak ALLAH yang terbesar atas para hamba NYA
adalah mereka beribadah hanya kepada NYA dan tidak menyekutukan NYA
dengan sesuatu pun dan dalam bentuk apa pun. Inilah asal amal yaitu
tauhid kepada ALLAH Ta’ala.
- ALLAH akan menjagamu
Hal ini termasuk balasan dari jenis amal (Al-Jazaa’ min jinsil ‘amal), seperti firman ALLAH (QS. Al-Baqarah: 40 dan 152).
Jika seorang hamba senantiasa menjaga batas-batas ALLAH, maka ALLAH akan menjaga. Penjagaan NYA ada dua macam, yaitu:
- Penjagaan dalam masalah/urusan duniawinya, seperti badan, harta, anak dan keluarganya. (QS.Ar-Ra’d: 11, Al-Kahfi:82)
- Penjagaan dalam masalah/urusan agama dan keimananya, menjaga dirinya dari syubhat-syubhat dan dari bid’ah-bid’ah yang menyesatkan, serta ALLAH akan menjaganya dari syahwat yang diharamkan, sehingga ia pun meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama islam. (QS.Yusuf:24)
- Jagalah ALLAH niscaya engkau akan mendapati ALLAH berada di depanmu
Orang yang menjaga batas-batas ALLAH,
maka ALLAH akan bersamanya dalam setiap keadaan, yaitu dengan
memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik kepadanya, meluruskannya
dan senantiasa melindungi dan menolongnya. (QS. An-Nahl:128,
Thaahaa:46, At-Taubah:40).
- Hendaklah engkau mengenal ALLAH di kala senang, maka pasti ALLAH akan mengenalmu di kala susah
Orang yang bertakwa kepada ALLAH dengan
menjaga batas-batas ALLAH dan hak-hak NYA, melaksanakan
perintah-perintah ALLAH dan menjauhi larangan-larangan NYA serta
mengerjakan yang wajib dan yang sunnah ketika dia merasa senang, ketika
badannya sehat, ketika tubuhnya kuat, atau ketika dia kaya, maka pasti
ALLAH akan mengenal (mengingat) orang itu ketika dia berada dalam
kesusahan, ketika ia sakit, ketika tubuhnya lemah, atau ketika dia
berada dalam kemiskinan dan kefakiran. Oleh karena itu, hendaklah setiap
muslim senantiasa beribadah kepada ALLAH dengan memurnikan keikhlasan
hanya kepada NYA di setiap waktu dan kesempatan. Sebab pada umumnya,
manusia ketika sedang mendapatkan kesenangan akan melupakan ALLAH dan
ketika dia sedang mengalami kesusahan barulah mengingat ALLAH Ta’ala.
ALLAH Ta’ala menyebutkan dalam Al-Quran
bahwa amal shalih akan bermanfaat pada saat susah, sebagaimana firman
ALLAH Ta’ala yang menghikayatkan tentang Nabi Yunus (QS.
Ash-Shaaffaat:143-144).
Demikian pula sebaliknya, amalan buruk
akan menghantarkan pelakunya kepada kesusahan dan kebinasaan, seperti
yang terjadi pada Fir’aun yang biasa berbuat kerusakan. (QS. Yunus:
90-91).
- Apabila engkau meminta, mintalah kepada ALLAH
Yang dimaksud dengan “meminta” dalam hadits ini adalah berdo’a.
Berdo’a adalah ibadah. ALLAH memerintahkan untuk meminta kepada ALLAH Ta’ala dan tidak kepada makhluk NYA.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam
melarang meminta-minta kepada makhluk, dalam hadits shahih riwayat
Bukhori no 1474 dan Muslim no 1040, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
“seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang
pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di
wajahnya.”
Pada HR. Muslim (no. 1041), dari Abu
Hurairah, Beliau bersabda: “Barang siapa meminta harta orang lain untuk
memperkaya diri, maka sesungguhnya ia hanyalah meminta bara api,
karenanya, silahkan ia meminta sedikit/banyak.”
- Apabila engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada ALLAH
Banyak sekali ayat-ayat yang
memerintahkan kepada kita untuk meminta tolong kepada ALLAH, seperti QS.
Al-Baqarah: 45, Yusuf : 18, Al-faatihah:5.
- Qadha’ dan qadar, diangkatnya pena, dan keringnya catatan
“Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh
umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak
akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah
ditetapkan ALLAH untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk
menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan
dapat menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan
sesuatu yang telah ALLAH tetapkan atasmu.”
Jadi, apa pun yang telah ALLAH tentukan
bagi kita -baik berupa kebaikan maupun keburukan- pasti akan kita terima
walaupun seluruh manusia berusaha untuk mencegahnya.
Keyakinan tentang Qadha’ dan Qadar akan
membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan orang yang menyakininya
adalah orang yang paling berbahagia. Sebaliknya, apabila ada orang yang
tidak menyakini hal ini, maka orang tersebut akan selalu berada dalam
penyesalan selama hidupnya. (QS. At-Taubah: 51, Al-Hadiid: 22-23).
Ada dua tingkatan bagi orang mukmin terhadap qadha’ dan qadar dalam musibah:
- Ia ridha dengannya. Inilah tingkatan yang paling tinggi. ALLAH berfirman: “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin ALLAH; dan barangsiapa beriman kepada ALLAH, niscaya ALLAH akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan ALLAH Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. At-Taghaabun: 11). Al-qamah berkata, “musibah tersebut adalah musibah yang menimpa seseorang, kemudian dia mengetahui bahwa musibah tersebut berasal dari ALLAH, lalu ia menerima dan ridha dengannya.” Barangsiapa mencapai tingkatan tersebut, maka seluruh kehidupannya berada dalam kesenangan dan kebahagiaan.
- Ia sabar terhadap apa yang menimpanya. Maksudnya bersabar terhadap musibah dan cobaan, dan ini diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu untuk ridha terhadap takdir.
Maka ridha adalah keutamaan yang
disunnahkan, sedangkan bersabar adalah kewajiban yang pasti atas seorang
mukmin. Di dalam kesabaran terdapat kebaikan yang banyak bagi pelakunya
karena ALLAH menyuruh akan hal itu dan menyediakan pahala yang melimpah
baginya. ALLAH Ta’ala berfirman, “… Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar:10).
Al-Hasan al-Bashri berkata: “Ridha itu berat sekali, namun sabar adalah pegangan seorang mukmin.”
Perbedaan antara ridha dengan sabar ialah, sabar
adalah menahan jiwa dari rasa tidak puas dengan disertai rasa sakit,
menginginkan rasa sakit itu hilang, dan menahan organ tubuh dari
mengerjakan hal-hal yang merupakan tuntutan keluh-kesah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa terhadap qadha’ dan tidak menginginkan sakitnya qadha’ hilang.
Keimanan kepada Qadha’ dan Qadar akan
membuahkan perasaan tidak mudah putus asa dan tidak berlebihan dalam
berduka cita terhadap apapun yang terluput dan apa pun musibah yang
menimpa. Misalnya, tertimpa penyakit berat, bencana, malapetaka,
kebanjiran, kebakaran, kecelakaan, kecurian, keguguran, dan sebagainya.
Semua hal itu telah ALLAH tetapkan, karenanya tidak ada gunanya berputus
asa dan berduka-cita secara berlebihan.
Keimanan kepada Qadha’ dan Qadar
juga akan membuahkan perasaan tidak terlalu bergembira atas segala
nikmat yang datang yang kita terima. Sebab, segala sesuatu itu akan
hilang dan akan meninggalkan kita.
Akan tetapi, bukanlah berarti sebagai
manusia kita tidak boleh bersedih, menangis, atau tidak boleh
bergembira. Namun hendaknya kita menyikapi segala musibah atau nikmat
yang kita terima dengan sewajarnya, tidak berlebihan. Sebab, Nabi pun
menangis tatkala putra tercintanya, Ibrahim, meninggal dunia. Ketika ada
seorang sahabat yang bertanya, “Mengapa engkau menangis, wahai
Rasulullah?” Maka Nabi menjawab, “Sesungguhnya mata ini menangis,
hati ini bersedih, dan kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai
oleh Rabb kami. Dan sungguh, kami merasa sedih karena berpisah denganmu,
wahai Ibrahim.”
Yang dilarang oleh syari’at adalah
meratap (menangis dengan teriak-teriak yang keras, menampar pipi,
merobek-robek baju dan lainnya), tidak sabar terhadap musibah yang
menimpa, atau berburuk sangka kepada ALLAH. Inilah yang dilarang
syari’at.
Seorang mukmin wajib bersyukur atas
segala nikmat yang ALLAH karuniakan dan menggunakan nikmat-nikmat
tersebut untuk melaksanakan ketaatan kepada ALLAH, seorang mukmin wajib
bersabar atas segala musibah, penyakit, atau malapetaka yang menimpanya.
Oleh karena itu, beriman kepada Qadha’ dan Qadar yang
baik maupun yang buruk serta menyakini bahwa semua yang terjadi sudah
ditetapkan oleh ALLAH akan membuat seorang mukmin menjadi tenang,
tenteram, selalu berdo’a, takut, dan mengharap hanya kepada ALLAH
Ta’ala.
- Ketahuilah bahwasanya adanya pertolongan itu bersama kesabaran
ALLAH Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) ALLAH, niscaya DIA akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).
- Kelapangan itu menyertai kesulitan
Setiap hamba yang beriman wajib menyakini
bahwa ALLAH akan menolong hamba-NYA yang mengalami kesusahan dan
kesulitan. Salah satu contoh, ALLAH Ta’ala menyebutkan bahwasannya DIA
menurunkan hujan setelah manusia hampir saja berputus asa. “Dan DIA
lah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan
rahmat-NYA. Dan Dialah Maha Pelindung, Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syuura:28).
- Bersama kesulitan itu ada kemudahan
ALLAH Ta’ala berfirman, “ Hendaklah
orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan
orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan ALLAH kepadanya. ALLAH tidak membebani seseorang melainkan
(sesuai) dengan apa yang diberikan ALLAH kepadanya. ALLAH kelak akan
memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7).
Seorang mukmin juga wajib menyakini bahwa
bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sehingga, tidak ada orang yang
selalu dalam keadaan sulit, karena ALLAH pasti akan memudahkanya.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6).
IV. Fawaa-id (Pelajaran dari Hadits):
Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini, diantaranya:
- Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.
- Disunnahkan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.
- Berkemauan keras untuk membina kaum muslimin.
- Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.
- Wajib atas seorang hamba menjaga batas-batas ALLAH, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk mengagungkan-NYA.
- Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas ALLAH, maka ALLAH tidak akan menjaganya. (QS. Al-Hasyr:19 dan QS. Yunus: 90-91).
- Diharamkan meminta kepada selain ALLAH dalam hal-hal yang dia tidak mampu memberikannya melainkan hanya ALLAH; seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dll.
- Seluruh makhluk adalah lemah dan butuh kepada ALLAH. Oleh karena, wajib bagi seorang hamba untuk memohon pertolongan hanya kepada ALLAH.
- Wajib beriman kepada qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh ALLAH, tidak ada satu pun yang terluput.
- Wajib bagi setiap hamba untuk mencari keridhaan ALLAH meskipun dibenci manusia.
- Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk menolak bahaya, melainkan dengan izin ALLAH. Karena itu, wajib ia menggantungkan harapannya hanya kepada ALLAH Ta’ala.
- Makarnya orang-orang yang berbuat maker -meskipun banyak- tidak akan terjadi melainkan dengan izin ALLAH. (QS. At-Taubah: 51).
- Catatan takdir di Lauhul Mahfuzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.
- Perbanyaklah ibadah, dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka ALLAH akan menolongmu di saat mengalami kesulitan.
- Setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan dan kemudahan.
- Kelapangan dan kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.
- Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada ALLAH agar dihilangkan kesulitannya. Karena hanya ALLAH sajalah yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya (kesulitan). (QS. Al-An’aam:17 dan Yunus:107).
- ALLAH akan member pertolongan dan kemenangan kepada hamba-hambaNYA yang sabar.
- Jihad di jalan ALLAH membutuhkan kesabaran dan istiqamah.
- Dengan kesabaran dan keyakinan, maka akan dapat diperoleh
kepemimpinan dalam agama. (Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar