Jumat, 03 Mei 2013

WASIAT NABI MUHAMMAD KEPADA IBNU ABBAS

Sebuah hadits yang mulia, sarat dengan nasehat.
I.        Isi Hadits:
Dari Abul ‘Abbas’ Abdullah bin ‘Abbas’, Ia mengatakan, “Pada suatu hari aku pernah dibonceng di belakang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, kemudian beliau bersabda: ‘Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah ALLAH, niscaya ALLAH akan menjagamu. Jagalah ALLAH, maka engkau akan mendapati-NYA di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada ALLAH, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada ALLAH. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan ALLAH untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ALLAH tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Dalam riwayat selain At-Tirmidzi disebutkan:
“Jagalah ALLAH, maka engkau akan mendapati-NYA di hadapanmu. Kenalilah ALLAH ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwasannya bersama kesulitan ada kemudahan.”

II.      Biografi Perawi Hadits:
“Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan. Nama lengkapnya adalah “Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muth-thalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak dari paman Rasulullah. Beliau dilahirkan di Makkah, di Syi’b (lembah) bani Hasyim, tepatnya tiga tahun sebelum hijrah, yaitu saat Rasulullah dan kaum muslimin diboikot oleh musyrikin quraisy.
Beliau adalah penafsir Al-Qur’an dan pemuka kaum muslimin dalam bidang tafsir. Karena keluasan ilmunya dalam bidang tafsir, bahasa dan sya’ir Arab, beliau diberi gelar sebagai ulama dan lautan ilmu. Beliaulah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud sebagai sebaik-baik penerjemah Al-Qur’an. Dan ketika Rasulullah wafat, beliau berusia 13 tahun.
Beliau dipanggil oleh para Khulafa-ur Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangannya dalam berbagai perkara. Beliau menjadi gubernur pada zaman ‘Utsman tahun 35 H, ikut serta bersama ‘Ali untuk memerangi kaum Khawarij, dan beliau adalah orang yang cerdas dan kuat hujjahnya.
Beliau menjadi ‘Amir (gubernur) di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 Hijriyah.
III.    Fiqih Hadits:
  1. Jagalah ALLAH!!
Maksudnya adalah menjaga batas-batas ALLAH, hak-hak NYA, serta menjaga perintah-perintah dan larangan-larangan NYA. Yang dimaksud dengan menjaga batas-batas ALLAH ta’ala adalah dengan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh ALLAH dan menjaga hak-hak ALLAH, sedangkan hak ALLAH yang terbesar atas para hamba NYA adalah mereka beribadah hanya kepada NYA dan tidak menyekutukan NYA dengan sesuatu pun dan dalam bentuk apa pun. Inilah asal amal yaitu tauhid kepada ALLAH Ta’ala.
  1. ALLAH akan menjagamu
Hal ini termasuk balasan dari jenis amal (Al-Jazaa’ min jinsil ‘amal), seperti firman ALLAH (QS. Al-Baqarah: 40 dan 152).
Jika seorang hamba senantiasa menjaga batas-batas ALLAH, maka ALLAH akan menjaga. Penjagaan NYA ada dua macam, yaitu:
  1. Penjagaan dalam masalah/urusan duniawinya, seperti badan, harta, anak dan keluarganya. (QS.Ar-Ra’d: 11, Al-Kahfi:82)
  2. Penjagaan dalam masalah/urusan agama dan keimananya, menjaga dirinya dari syubhat-syubhat dan dari bid’ah-bid’ah yang menyesatkan, serta ALLAH akan menjaganya dari syahwat yang diharamkan, sehingga ia pun meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama islam. (QS.Yusuf:24)
  1. Jagalah ALLAH niscaya engkau akan mendapati ALLAH berada di depanmu
Orang yang menjaga batas-batas ALLAH, maka ALLAH akan bersamanya dalam setiap keadaan, yaitu dengan memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik kepadanya, meluruskannya dan senantiasa melindungi dan menolongnya. (QS. An-Nahl:128, Thaahaa:46, At-Taubah:40).
  1. Hendaklah engkau mengenal ALLAH di kala senang, maka pasti ALLAH akan mengenalmu di kala susah
Orang yang bertakwa kepada ALLAH dengan menjaga batas-batas ALLAH dan hak-hak NYA, melaksanakan perintah-perintah ALLAH dan menjauhi larangan-larangan NYA serta mengerjakan yang wajib dan yang sunnah ketika dia merasa senang, ketika badannya sehat, ketika tubuhnya kuat, atau ketika dia kaya, maka pasti ALLAH akan mengenal (mengingat) orang itu ketika dia berada dalam kesusahan, ketika ia sakit, ketika tubuhnya lemah, atau ketika dia berada dalam kemiskinan dan kefakiran. Oleh karena itu, hendaklah setiap muslim senantiasa beribadah kepada ALLAH dengan memurnikan keikhlasan hanya kepada NYA di setiap waktu dan kesempatan. Sebab pada umumnya, manusia ketika sedang mendapatkan kesenangan akan melupakan ALLAH dan ketika dia sedang mengalami kesusahan barulah mengingat ALLAH Ta’ala.
ALLAH Ta’ala menyebutkan dalam Al-Quran bahwa amal shalih akan bermanfaat pada saat susah, sebagaimana firman ALLAH Ta’ala yang menghikayatkan tentang Nabi Yunus (QS. Ash-Shaaffaat:143-144).
Demikian pula sebaliknya, amalan buruk akan menghantarkan pelakunya kepada kesusahan dan kebinasaan, seperti yang terjadi pada Fir’aun yang biasa berbuat kerusakan. (QS. Yunus: 90-91).
  1. Apabila engkau meminta, mintalah kepada ALLAH
Yang dimaksud dengan “meminta” dalam hadits ini adalah berdo’a.
Berdo’a adalah ibadah. ALLAH memerintahkan untuk meminta kepada ALLAH Ta’ala dan tidak kepada makhluk NYA.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam melarang meminta-minta kepada makhluk, dalam hadits shahih riwayat Bukhori no 1474 dan Muslim no 1040, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”
Pada HR. Muslim (no. 1041), dari Abu Hurairah, Beliau bersabda: “Barang siapa meminta harta orang lain untuk memperkaya diri, maka sesungguhnya ia hanyalah meminta bara api, karenanya, silahkan ia meminta sedikit/banyak.”
  1. Apabila engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada ALLAH
Banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kepada kita untuk meminta tolong kepada ALLAH, seperti QS. Al-Baqarah: 45, Yusuf : 18, Al-faatihah:5.
  1. Qadha’ dan qadar, diangkatnya pena, dan keringnya catatan
“Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan ALLAH untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ALLAH tetapkan atasmu.”
Jadi, apa pun yang telah ALLAH tentukan bagi kita -baik berupa kebaikan maupun keburukan- pasti akan kita terima walaupun seluruh manusia berusaha untuk mencegahnya.
Keyakinan tentang Qadha’ dan Qadar akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan orang yang menyakininya adalah orang yang paling berbahagia. Sebaliknya, apabila ada orang yang tidak menyakini hal ini, maka orang tersebut akan selalu berada dalam penyesalan selama hidupnya. (QS. At-Taubah: 51, Al-Hadiid: 22-23).
Ada dua tingkatan bagi orang mukmin terhadap qadha’ dan qadar dalam musibah:
  1. Ia ridha dengannya. Inilah tingkatan yang paling tinggi. ALLAH berfirman: “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin ALLAH; dan barangsiapa beriman kepada ALLAH, niscaya ALLAH akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan ALLAH Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. At-Taghaabun: 11). Al-qamah berkata, “musibah tersebut adalah musibah yang menimpa seseorang, kemudian dia mengetahui bahwa musibah tersebut berasal dari ALLAH, lalu ia menerima dan ridha dengannya.” Barangsiapa mencapai tingkatan tersebut, maka seluruh kehidupannya berada dalam kesenangan dan kebahagiaan.
  2. Ia sabar terhadap apa yang menimpanya. Maksudnya bersabar terhadap musibah dan cobaan, dan ini diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu untuk ridha terhadap takdir.
Maka ridha adalah keutamaan yang disunnahkan, sedangkan bersabar adalah kewajiban yang pasti atas seorang mukmin. Di dalam kesabaran terdapat kebaikan yang banyak bagi pelakunya karena ALLAH menyuruh akan hal itu dan menyediakan pahala yang melimpah baginya. ALLAH Ta’ala berfirman,  “… Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar:10).
Al-Hasan al-Bashri berkata: “Ridha itu berat sekali, namun sabar adalah pegangan seorang mukmin.”
Perbedaan antara ridha dengan sabar ialah, sabar adalah menahan jiwa dari rasa tidak puas dengan disertai rasa sakit, menginginkan rasa sakit itu hilang, dan menahan organ tubuh dari mengerjakan hal-hal yang merupakan tuntutan keluh-kesah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa terhadap qadha’ dan tidak menginginkan sakitnya qadha’ hilang.
Keimanan kepada Qadha’ dan Qadar akan membuahkan perasaan tidak mudah putus asa dan tidak berlebihan dalam berduka cita terhadap apapun yang terluput dan apa pun musibah yang menimpa. Misalnya, tertimpa penyakit berat, bencana, malapetaka, kebanjiran, kebakaran, kecelakaan, kecurian, keguguran, dan sebagainya. Semua hal itu telah ALLAH tetapkan, karenanya tidak ada gunanya berputus asa dan berduka-cita secara berlebihan.
Keimanan kepada Qadha’ dan Qadar juga akan membuahkan perasaan tidak terlalu bergembira atas segala nikmat yang datang yang kita terima. Sebab, segala sesuatu itu akan hilang dan akan meninggalkan kita.
Akan tetapi, bukanlah berarti sebagai manusia kita tidak boleh bersedih, menangis, atau tidak boleh bergembira. Namun hendaknya kita menyikapi segala musibah atau nikmat yang kita terima dengan sewajarnya, tidak berlebihan. Sebab, Nabi pun menangis tatkala putra tercintanya, Ibrahim, meninggal dunia. Ketika ada seorang sahabat yang bertanya, “Mengapa engkau menangis, wahai Rasulullah?” Maka Nabi menjawab, “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini bersedih, dan kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sungguh, kami merasa sedih karena berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”
Yang dilarang oleh syari’at adalah meratap (menangis dengan teriak-teriak yang keras, menampar pipi, merobek-robek baju dan lainnya), tidak sabar terhadap musibah yang menimpa, atau berburuk sangka kepada ALLAH. Inilah yang dilarang syari’at.
Seorang mukmin wajib bersyukur atas segala nikmat yang ALLAH karuniakan dan menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk melaksanakan ketaatan kepada ALLAH, seorang mukmin wajib bersabar atas segala musibah, penyakit, atau malapetaka yang menimpanya. Oleh karena itu, beriman kepada Qadha’ dan Qadar yang baik maupun yang buruk serta menyakini bahwa semua yang terjadi sudah ditetapkan oleh ALLAH akan membuat seorang mukmin menjadi tenang, tenteram, selalu berdo’a, takut, dan mengharap hanya kepada ALLAH Ta’ala.
  1. Ketahuilah bahwasanya adanya pertolongan itu bersama kesabaran
ALLAH Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) ALLAH, niscaya DIA akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).
  1. Kelapangan itu menyertai kesulitan
Setiap hamba yang beriman wajib menyakini bahwa ALLAH akan menolong hamba-NYA yang mengalami kesusahan dan kesulitan. Salah satu contoh, ALLAH Ta’ala menyebutkan bahwasannya DIA menurunkan hujan setelah manusia hampir saja berputus asa. “Dan DIA lah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-NYA. Dan Dialah Maha Pelindung, Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syuura:28).
  1. Bersama kesulitan itu ada kemudahan
ALLAH Ta’ala berfirman, “ Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan ALLAH kepadanya. ALLAH tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan ALLAH kepadanya. ALLAH kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7).
Seorang mukmin juga wajib menyakini bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sehingga, tidak ada orang yang selalu dalam keadaan sulit, karena ALLAH pasti akan memudahkanya.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6).
 
IV.    Fawaa-id (Pelajaran dari Hadits):
Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini, diantaranya:
  1. Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.
  2. Disunnahkan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.
  3. Berkemauan keras untuk membina kaum muslimin.
  4. Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.
  5. Wajib atas seorang hamba menjaga batas-batas ALLAH, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk mengagungkan-NYA.
  6. Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas ALLAH, maka ALLAH tidak akan menjaganya. (QS. Al-Hasyr:19 dan QS. Yunus: 90-91).
  7. Diharamkan meminta kepada selain ALLAH dalam hal-hal yang dia tidak mampu memberikannya melainkan hanya ALLAH; seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dll.
  8. Seluruh makhluk adalah lemah dan butuh kepada ALLAH. Oleh karena, wajib bagi seorang hamba untuk memohon pertolongan hanya kepada ALLAH.
  9. Wajib beriman kepada qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh ALLAH, tidak ada satu pun yang terluput.
  10. Wajib bagi setiap hamba untuk mencari keridhaan ALLAH meskipun dibenci manusia.
  11. Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk menolak bahaya, melainkan dengan izin ALLAH. Karena itu, wajib ia menggantungkan harapannya hanya kepada ALLAH Ta’ala.
  12. Makarnya orang-orang yang berbuat maker -meskipun banyak- tidak akan terjadi melainkan dengan izin ALLAH. (QS. At-Taubah: 51).
  13. Catatan takdir di Lauhul Mahfuzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.
  14. Perbanyaklah ibadah, dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka ALLAH akan menolongmu di saat mengalami kesulitan.
  15. Setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan dan kemudahan.
  16. Kelapangan dan kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.
  17. Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada ALLAH agar dihilangkan kesulitannya. Karena hanya ALLAH sajalah yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya (kesulitan). (QS. Al-An’aam:17 dan Yunus:107).
  18. ALLAH akan member pertolongan dan kemenangan kepada hamba-hambaNYA yang sabar.
  19. Jihad di jalan ALLAH membutuhkan kesabaran dan istiqamah.
  20. Dengan kesabaran dan keyakinan, maka akan dapat diperoleh kepemimpinan dalam agama. (Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar