dakwatuna.com - Selepas pembantaian rakyat sipil
oleh rezim kudeta militer di Mesir beberapa waktu lalu, kalangan aktivis
Islam Indonesia dibuat geger oleh kicauan dua tokoh Jaringan Islam
Liberal (JIL) di jagad Twitter. Dua intelektual muda JIL itu, Ulil
Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi berkicau tentang bahaya kaum islamis
bagi negara dan bangsa Indonesia.
Zuhairi Misrawi mengatakan dalam akun twitternya, “kaum Islamis di
negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di
Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan”. Kontan saja kicauan yang berbau
fasisme itu mengundang kritikan di sosial media.
Twit Ulil Abshar Abdalla menjelaskan siapa ‘kaum Islamis’ yang
dimaksud. Dalam twitternya, mantan koordinator JIL itu mengatakan: ““Tak mau Indonesia mengalami problem Mesir? Jangan biarkan kekuatan Islamis membesar di Indonesia. Itu kata kuncinya,” di waktu berbeda Ulil sampaikan, “Tugas kita adalah melakukan kritik terus-menerus agar ideologi Islamis di Indonesia yang dibawa PKS tak meluas pengaruhnya,” kicau @ulil.
Kita tidak akan bahas bagaimana reaksi kelompok-kelompok gerakan
Islam terhadap kicauan dua tokoh paling moncer di Jaringan Islam Liberal
itu, tanggapan Fahri Hamzah, wakil Sekjen PKS, cukup mewakili bagaimana
PKS menghadapi kicauan tokoh muda yang pemikirannya tidak populer di
kalangan Nahdlatul Ulama tersebut.
Dalam akunnya, @Fahrihamzah katakan: “ulil dan kawan-kawan gak usah
khawatir dengan PKS, sebab prosedur menjatuhkannya ada dalam jadwal
demokrasi kita..,” kicaunya.
Dari ‘perang maya’ tersebut menarik memang melihat fakta bagaimana
seorang Fahri Hamzah dari kalangan Islamis mengedepankan sistem
demokrasi untuk menerima peralihan kekuasaan, “prosedurnya ada dalam
jadwal demokrasi kita” katanya., namun pada saat yang sama seorang
liberalis dan pembela asas-asas demokrasi seperti Zuhairi dan Ulil
justru terkesan mencari-cari celah untuk membenarkan kudeta terhadap
pemerintah yang dipilih secara sah dan konstitusional melalui
prosedur-prosedur demokrasi. Kicauan Ulil dan Misrawi ini berbanding
terbalik dengan apa yang kerap mereka presentasikan dalam
seminar-seminar mengenai penerimaan terhadap demokrasi, prinsip-prinsip
egalitarianisme, humanisme, dst. Padahal pada zaman modern dan manusiawi ini,
kita semua tahu, jika boleh mengutip Fahri Hamzah, “untuk atau atas
nama apapun kepemimpinan sipil haram dijatuhkan secara militer apalagi
dengan alasan kepuasan publik. Survey boleh menunjukkan kepuasan di
bawah 50% kepada presiden @SBYudhoyono tapi dia haram dijatuhkan secara
kudeta. Presiden di negara demokrasi hanya bisa dijatuhkan via pemilu atau karena melakukan pelanggaran hukum berat.”
Ketakutan terhadap PKS
Saya mencoba memahami ketakutan Ulil, Misrawi, dan kalangan yang satu mazhab dengan
mereka secara pemikiran terhadap kekuatan islamis-terutama PKS.
Tampaknya PKS dalam pandangan kelompok liberal adalah gerakan Islam yang
hanya memanfaatkan prosedur-prosedur demokrasi untuk kemudian
menghilangkan demokrasi itu sendiri ketika sudah mendapatkan kekuasaan.
Ketakutan kalangan liberal terhadap PKS bisa kita lihat dalam banyak
artikel, misalnya tulisan Ahmad Najib Burhani “Piagam Jakarta, dan Piagam Madinah” yang dimuat di salah satu koran Nasional tahun 2004. Juga artikel “Memahami Realitas PKS” karya Happy Susanto (2008) di situs Jaringan Islam Liberal yang mengatakan bahwa PKS secara pure hanya mengadopsi ideologi timur tengah tanpa adanya “indigenisasi” dengan konteks “kekinian dan kedisinian” Indonesia.
Memang di sinilah kelemahan demokrasi. Sistem politik dari Yunani kuno tersebut tidak memiliki ‘self defence mechanism’ atau
mekanisme pertahanan diri. Demokrasi akan membiarkan siapapun mengikuti
kontestasi pemilu, bahkan kepada kelompok yang paling tidak demokratis
sekalipun. Demokrasi secara sah akan—dan harus—mengakuinya secara
konstitusional. Dan ketika pemenang pemilu justru membunuh demokrasi itu
sendiri di parlemen melalui voting untuk mengganti konstitusi negara
dengan sistem selainnya, maka pada waktu itu demokrasi tidak bisa
menolong dirinya sendiri.
Hal inilah yang ditakutkan oleh kelompok liberal. Tetapi cara pandang “anak-anak JIL” ini menjadi absurd, ketika
pada saat yang sama kelompok kecil ini justru mengakui rezim kudeta
Mesir yang terang benderang menodai kanvas demokrasi kita di mana
militer melakukan coup d’etat terhadap Presiden Mursi, pemenang
sah Pemilu Mesir. Sungguh anomali ketika kita melihat, Fahri Hamzah yang
berasal dari kalangan Islamis, justru lebih demokratis daripada Ulil
dan Misrawi dari kelompok JIL. Anomali karena selama ini kalangan
liberal acapkali menuding kalangan Islamis sebagai kelompok yang tidak
demokratis. Terang sudah mana yang betul-betul demokratis, dan mana yang
sekadar lips service.
Kenapa Curiga pada PKS?
Melihat keberadaan PKS dalam konteks demokrasi kita memang menarik.
Para pengamat politik mengidentifikasi PKS dengan sebutan kaum Islamist democrat (Demokrat
Islamis), yakni kelompok Islam yang menjalankan demokrasi, setidaknya
demokrasi elektoral, tetapi tetap memperteguh identitas dan
agenda-agenda Islam ke dalam kehidupan publik (Mujani, 2004). Istilah islamist democrat ini menurut pengamat politik senior Saiful Mujani, adalah suatu contradictio interminis, atau ungkapan yang mengandung pengertian kontradiktif di dalam dirinya.
Tentu mudah dipahami mengapa fenomena islamis democrat disebut sebagai sebuah kontradiksi, karena selama ini pattern yang terbentuk antara gerakan Islam dan demokrasi adalah
dua hal tidak pernah bisa bertemu. Kita bisa melihat
pandangan-pandangan tersebut melalui pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir,
Jamaah Ansharut Tauhid, dan kelompok-kelompok anti demokrasi lainnya.
Padahal dalam konteks PKS kita akan menemukan pandangan
lain. Membahas bagaimana relasi Islam-Negara dalam kacamata PKS adalah
hal yang menarik. Lihat bagaimana Anis Matta, Presiden PKS itu
memosisikan demokrasi dalam kacamata yang lebih luas alih-alih sempit
pikir seperti Hizbut Tahrir yang menghinadina demokrasi sejak awalnya.
Dalam kacamata Anis Matta sebagaimana tertuang dalam bukunya Menikmati Demokrasi, demokrasi adalah sebuah kanvas di mana semua orang boleh melukis.
“Semua individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan individu lain.
Semua sama-sama bebas berpikir, berekspresi, bertindak, dan memilih
jalan hidup. Tidak boleh ada rasa takut, ada tekanan, terutama dari
militer. Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.”
Anis melanjutkan, “Namun kebebasan (dalam demokrasi) ini ada
harganya. Para pelaku dakwah memang bebas menjalankan dakwahnya. Tetapi
pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di
sini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus
legal, walaupun salah. Dan sesuatu itu benar tapi tidak legal, adalah
salah. Jadi tugas kita adalah bagaimana mempertemukan antara kebenaran
dan legalitas. Bagaimana menjadikan sesuatu yang haram dalam pandangan
agama, menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif, dan apa yang
diperbolehkan oleh agama menjadi legal dalam hukum positif itu.”
Dari pandangan Anis tadi, tampak jelas bagaimana PKS menerima
demokrasi sebagai bagian dari cara mereka menyampaikan aspirasi. Sama
persis dengan apa yang berada dalam benak kalangan sekuler yang juga
menyampaikan aspirasinya lewat demokrasi. Yang berbeda dari keduanya
hanya pada tataran ide apa yang diperjuangkan. Dan memang karena itulah
demokrasi diperlukan: sebagai melting pot dari ragam ide yang
tumbuh di masyarakat. PKS menyampaikan apa yang diinginkannya melalui
prosedur demokrasi yang sah dan konstitusional, seraya tetap menghargai
keragaman dan multikulturalitas dalam masyarakat. Itulah mengapa PKS
menerima demokrasi sebagai sarana perjuangan.
Lihat bagaimana Fahri Hamzah dalam buku tebalnya berjudul, “Negara, Pasar dan Rakyat” (2010) menggambarkan demokrasi,
“demokrasi sejalan dengan ide modernisasi yang menuntut adanya
perubahan di segala bidang kehidupan. Tradisi Islam bukanlah warisan
kaku yang hanya mempertahankan corak klasiknya. Meski pada awalnya Islam
tidak mengenal prinsip demokrasi, namun gagasan universal demokrasi
sejalan dengan prinsip Islam… tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi. Dalam prinsip Islam elemen-elemen
demokrasi meliputi prinsip-prinsip tertentu seperti syura, musawah,
adalah, amanah, masuliyah, dan hurriyah.”
Pandangan realistis dan akomodatif semacam ini terhadap demokrasi
sejatinya sejalan dengan pandangan seorang ulama dunia yang cukup
dihormati di Indonesia, yaitu Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Daulah (Fikih Negara)
Khilafah versus Nation State
Menarik sekali apa yang dikatakan oleh John L.Esposito, dalam bukunya Islam and Politics (1985)
Esposito mengatakan bahwa di kalangan kelompok-kelompok Islam terdapat
kesamaan mengenai “bukan negara Islam”, tetapi justru terdapat perbedaan
mengenai “negara Islam”. Apakah ia harus berbentuk Negara
trans-nasional atau bolehkah berbentuk nation-state (Negara bangsa)?
Di kalangan gerakan Islam, terma khilafah paling nyaring
disuarakan oleh Hizbut Tahrir (HT) sekalipun tidak tampak jelas mau
dibawa ke mana arah perjuangan tersebut setelah HT berdiri sejak 1953.
Impian tentang khilafah sebagai negara yang adil, makmur, sejahtera,
memang membuai sebagian masyarakat. Kejenuhan terhadap realitas yang
senjang, kekacauan sosial, dan sebagainya membuat sebagian orang memilih
hidup dalam romantisme masa lalu, dan terbuai dalam keindahan masa
depan seraya mencela zaman ini.
Jauh sebelumnya, hal serupa sebetulnya telah terimajinasikan dalam
benak seorang filosof Muslim, Al-Farabi (870-950) yang memimpikan sebuah
negara damai, adil makmur, sejahtera, dan seribu keutamaan lainnya yang
ia tuangkan dalam sebuah kitab berjudul Araa Ahl l-Madiinah al-Fadhilah. Sebegitu indahnya Negara tersebut hingga ide al-Farabi itu lebih sering dikritik sebagai sebuah utopia.
Sekalipun sebetulnya secara performa luar kader PKS agak mirip dengan
Syabab Hizbut Tahrir, namun pandangan dua kelompok dari gerakan Islam
ini rupanya berbeda. Mudah untuk memahami bahwa sebagai gerakan ekstra
parlemen yang pekerjaannya “hanya mengkritik”, tentu mudah bagi HT untuk
bekerja dan menawarkan solusi-solusi di ranah wacana semata. Dan kita
akan paham bahwa negara trans nasional yang didirikan HT akan
menjadi “negara yang menakutkan” karena kelompok ini memiliki pandangan
untuk membentuk sebuah negara super power “satu negara untuk seluruh
dunia Islam” sebagaimana makna khilafah yang dicetuskan oleh pendiri HT,
Taqiyuddin an-Nabhani (1909-1979). Artinya selepas kekhilafahan
berdiri, maka berikutnya akan terjadi penaklukan-penaklukan ke seluruh
dunia untuk melebarkan wilayah kekuasaannya.
PKS tidak memahami khilafah dalam definisi sedemikian. Lihat
bagaimana seorang pendiri PKS, Hidayat Nur Wahid menjawab ketika ditanya
tentang pandangannya mengenai pemerintahan Islam:
“Jangan berpolemik mengamandemen UUD 1945 untuk menghadirkan
pemerintahan Islam (khilâfah Islâmiyah). Kita sudah lelah dengan
polemik, akan lebih bijak jika berkonsentrasi untuk melaksanakan ajaran
agama. Lebih penting adalah agar seluruh masyarakat Indonesia
melaksanakan ajaran agama seperti dalam pasal 29 UUD 1945. Jika agama
dilaksanakan oleh semua umat beragama pada tingkat moral dan etos kerja
saya kira akan membawa dampak positif bagi moral bangsa.”
Lebih tegas tentang khilafah, HNW melanjutkan:
“Pada zaman sekarang ini, apakah yang namanya kekhalifahan harus
berwujud dengan nama khilâfah, bukankah negara republik atau kerajaan
pada skala tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun namanya, republik atau
kerajaan, kalau di situ terlaksana dengan baik nilai-nilai keadilan,
kesejahteraan, keislaman, pemberdayaan, tidak terjadi praktek-praktek
korupsi, penindasan, kezhaliman, nepotisme, tirani, dan kemudian terjadi
mekanisme kepemimpinan yang islami, bisa disebut sebagai kekhalifahan
itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang sudah berbentuk republik,
tidak perlu lagi diubah namanya menjadi kekhalifahan.”
Melihat pandangan HNW ini, tak perlu rasanya kita menaruh curiga
bahwa jika PKS berkuasa maka NKRI akan hilang diganti dengan Negara
agama. Tentu saja pandangan seorang agamawan jebolan Gontor yang telah
menghabiskan masa sarjana hingga doktoralnya di Universitas Islam
Madinah itu tentulah bukan tanpa pengetahuan. Dalam beberapa konteks, nation-state (Negara bangsa) dengan khilafah sebetulnya tidak perlu saling menegasikan.
Mari kita lihat bagaimana pada tahun 912 M, di Spanyol ‘Abd al-Rahmân
al-Nâsir mulai menggunakan gelar khalîfah. Padahal pada waktu yang sama
kekhalifahan Bani ‘Abbâsiyyah masih berlangsung di bawah pengaruh Bani
Buwaihi. Bahkan pada periode 912-1013, khilâfah Islâmiyah di Spanyol ini
telah mencapai puncak kejayaan dan menyaingi Daulah ‘Abbâsiyyah di
Baghdâd. Demikian pula halnya yang terjadi pada masa Dinasti
‘Utsmâniyyah di Turki. Pada masa pemerintahan Turki Utsmani berlangsung,
berdiri dua pemerintahan Islam, yakni Dinasti Syafawi di Persia, dan
Dinasti Mughal di India. (Badri Yatim, 2001)
Kemunculan Kerajaan Syafawi di Persia dan Dinasti Mughal di India
yang menyaingi Dinasti Utsmani ini, memiliki konteks yang sama dengan
kekhilafahan Islam di Spanyol, yakni keberlangsungan pemerintahan Islam
secara bersamaan pada era yang sama, di tempat yang berbeda. Oleh karena
itu, sebagaimana di Spanyol, kedua Dinasti ini juga dapat disebut
sebagai “khilâfah Islâmiyyah”. Artinya adalah, pada masa itu terdapat
begitu banyak pemerintahan Islam, sehingga jika pada konteks kekinian
kekhilafahan dibentuk berdasarkan “kekhilafahan-kekhilafahan kecil”,
maka itu tidak bertentangan dengan fakta historis di atas.
Demikian juga jika kita melihat bagaimana pandangan Anis Matta
tentang symbol agama sebagai nama Negara. Anis Mengatakan “jika
substansi telah cukup mewakili nama, maka tak perlu nama mewakili
substansi tanpa menafikan nama”
PKS Memperjuangkan Masyarakat Madani
Adalah Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah UIN Jakarta yang merasa
beruntung mendapat kesempatan mendalami PKS ketika diundang dalam Milad
ke-10 sehingga bisa mengetahui apa sebetulnya tujuan Partai Islam
terbesar di Indonesia itu.
Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan begini:
Negara Indonesia bagaimanakah yang dicita-citakan PKS? Jawabannya
jelas dalam tujuan pendirian PKS: ”Tujuan didirikannya PK Sejahtera
adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang
diridhai Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. PK
Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang
mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari
Sabang hingga Merauke”.
‘Masyarakat madani’. Inilah salah satu kata kunci untuk lebih
memahami PKS. Apa yang dimaksud PKS dengan ‘masyarakat madani’?
Masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang
berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang
keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan
bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Pengertian genuine dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan
konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah
Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan),
dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI”.
Dengan platform ini, sekali lagi, jelas, PKS tidaklah bertujuan
membentuk ‘negara Islam’ atau yang semacamnya, melainkan bertujuan
membentuk masyarakat madani. Jelas pula, masyarakat madani yang
diinginkan PKS adalah masyarakat madani yang berbasiskan agama
(religious-based civil society); bukanlah masyarakat sipil atau
masyarakat kewargaan yang dalam sejumlah wacana tentang civil society
tidak memiliki konotasi apalagi hubungan dengan agama. Konsep masyarakat
madani yang akhir ini pada dasarnya merupakan teoretisasi dari
pengalaman di Eropa Timur dan Amerika Latin.
Jadi, kita perlu paham bahwa yang diperjuangkan PKS adalah masyarakat
madani. Sebuah kehidupan sosial bermasyarakat yang merujuk pada
kehidupan pada masa Nabi di Madinah. Bukan lagi pada masa khilafah.
Masyarakat madinah adalah masyarakat yang plural, terdiri dari beragam
suku dan agama namun hidup bersatu dalam sebuah Negara yang
konstitusional dalam sebuah konsensus bersama.
Jika masyarakat semacam ini menjadi inspirasi, tentu saja karena
didasari religiusitas masyarakat kita, maka NKRI akan tetap ada, tetap
berbhinneka tunggal ika. Jadi tidak perlu paranoid dengan gerakan
Islamis democrat.
Partai Islam memperjuangkan idenya, sebagaimana partai selainnya juga
memperjuangkan idenya. Semua berkontestasi di dalam pemilu yang sah dan
konstitusional.
Jika sudah begitu, Kenapa kita harus curiga pada PKS?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar