Hijrah dalam kamus-kamus bahasa Arab berakar pada huruf ha-ja-ra,
yang berarti pisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di
waktu tengah hari, igauan dan mimpi. Namun, dalam terminologi Islam,
hijrah sering diartikan dengan meninggalkan negeri yang tidak aman
menuju negeri yang aman demi keselamatan dalam menjalankan agama.
Dalam sejarah perjalanan dakwah, hampir semua para nabi, khususnya ulul azmi,
pernah melakukan hijrah. Hijrah secara fisik yang dikenal dalam Islam
adalah hijrah sebagian sahabat, yang terbanyak dari kalangan mustad’afin (orang-orang yang lemah secara politik dan ekonomi), ke negeri Habasyah sebanyak dua kali.
Hijrah pertama ini diikuti hanya oleh dua puluh orang. Di dalam
rombongan ini terdapat Ruqayyah binti Muhammad (putri Rasulullah saw.)
dan suaminya Utsman bin Affan. Mereka berlayar secara diam-diam menuju
Habasyah dengan menggunakan kapal dagang. Kaum musyrik Mekah kemudian
mengirim pasukan untuk mengejar mereka. Namun, kaum muslim telah
berlayar setibanya pasukan di tepi laut. Peristiwa ini terjadi di bulan
Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
Hijrah ke Habasyah ini dilakukan kaum muslim karena semakin
meningkatnya intimidasi kaum Qurisy pada mereka. Setelah dua bulan
tinggal di Habasyah, mereka kembali ke Mekah karena mengira intimidasi
kaum Quraisy sudah jauh berkurang.
Namun, perkiraan itu salah. Sebab, pada kenyataannya kaum musyrik
Mekah malah meningkatkan intimidasinya terhadap kaum muslim. Nabi
Muhammad saw. kemudian menyarankan para sahabatnya untuk hijrah kembali
ke Habasyah. Rencana hijrah kedua ini lebih berat karena pihak musuh
sudah mencium rencana tersebut. Hal ini menyebabkan kaum muslim bergerak
lebih cepat. Rombongan ini dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan
sebanyak delapan puluh tiga pria dan tiga belas wanita berhasil
berangkat hijrah ke Habasyah. Mereka tiba dengan selamat. Tetapi, tidak
lama kemudian datang utusan dari Mekah yang dipimpin oleh ‘Amr bin
al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka bermaksud meminta kaum
muslim, sambil membawa banyak hadiah untuk Raja Najasyi. Terjadilah
dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan utusan dari kaum musyrik
Mekah dihadapan Raja Najasyi. Namun, pada akhirnya kaum muslim berhasil
meyakinkan Raja Najasyi akan kebenaran hijrah mereka, dan utusan kaum
musyrik pun kembali ke Mekah tanpa hasil.
Rasulullah saw kemudian mengirim surat kepada Raja Najasyi dan
menyerunya untuk masuk Islam. Raja Najasyi menerima seruan tersebut. Dan
tatkala raja Najasyi ini meninggal dunia, Rasulullah sawpun melakukan
shalat gaib untuknya.
Semakin lama tekanan dan intimidasi yang dialami oleh Rasulullah saw.
dan kaum muslim semakin dahsyat. Hal inilah yang menyebabkan mereka
hijrah Madinah. Jika hijrah ke Habasyah dilakukan secara kecil-kecilan
oleh sejumlah sahabat, maka hijrah ke Madinah ini dilakukan dengan
perbekalan dan persiapan yang matang dan memadai.
Namun, peristiwa yang sangat menentukan kesuksesan dakwah Islam, dan
menjadi titik peralihan menuju kemenangan adalah ketika Rasulullah saw.
dan para sahabatnya berhasil hijrah ke Madinah dengan selamat.
Keberhasilan hijrah ini tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang
terjadi sebelumnya, yaitu proses sumpah setia atau bai’ah oleh beberapa orang dari Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’atul ‘Aqabah al Ula wa Tsaniyah.
Bai’ah yang pertama dilakukan oleh sepuluh orang dari suku Khazraj dan dua orang dari suku Aus kepada Rasulullah saw. Bai’ah
ini dilakukan ketika mereka ziarah ke Masjidil Haram. Peristiwa ini
terjadi pada tahun ke-12 kenabian (tahun 621 M di bulan Juli) di Aqabah,
Mina. Adapun teks bai’ahnya: “Kami tidak akan
mempersekutukan Allah dengan apapun juga, tidak akan mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berdusta dengan
menutup-nutupi apa yang ada di depan dan di belakang kami, dan tidak
akan membantah perintah nabi dalam hal kebajikan” (HR. al-Bukhari)
Sedangkan bai’ah yang kedua terjadi pada musim haji tahun ke-13 kenabian (tahun 622, bulan Juni) di tempat yang sama. Adapun isinya adalah, “Kalian
membai’atku dengan berjanji untuk patuh dan setia kepadaku, baik dalam
keadaan sibuk maupun senggang, memberi infak baik dalam keadaan lapang
rezeki maupun sempit, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, teguh membela
agama Allah tanpa memperhatikan perbedaan ras, tidak takut dicela orang
lain, tetap membantu dan membelaku ketika aku berada di tengah-tengah
kalian sebagaimana kalian membela diri dan anak isteri kalian. Jika
kalian melaksanakan semua ini, kalian akan memdapatkan surga.” (HR. Ahmad bin Hanbal)
Peristiwa yang lainnya adalah kesepakatan para pemuka suku Quraiys
untuk menghabisi kaum muslim dan Rasulullah saw. di Darun Nadwah. Namun,
kesepakatan ini diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu yang turun
kepadanya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy)
memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah
menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)
Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk hijrah ke
Madinah setelah turunnya ayat ini. Para sahabat mulai meninggalkan Mekah
secara bergelombang. Rasulullah saw. sendiri adalah orang yang terakhir
pergi ke Madinah.
Rasulullah saw. menyiapkan hijrah ini secara matang. Sebab, target
utama kaum musyrik Mekah adalah mengagalkan hijrah kaum muslimin.
Rasulullah saw. menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi,
dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq
menemaninya, dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin
Uraiqit.
Rasulullah saw. meninggalkan rumah pada malam hari tanggal 27 bulan
Shafar tahun ke-13 kenabian atau bertepatan dengan tanggal 12 atau 13
September tahun 622 M. Perjalanan awal keluar Mekah jusru menempuh jalan
yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk
mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini
mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar,
tetapi keberadaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar di dalam gua tidak
diketahui mereka.
Setelah berhasil lolos dari pengejaran kaum musyrik Mekah, perjalanan
dilanjutkan kembali. Tetapi ternyata, para pemburu bayaran yang
diiming-imingi hadiah besar oleh pihak Mekah terus mengintai mereka.
Salah satu dari mereka adalah Suraqah bin Malik. Ia berhasil mengejar
dan mendekati Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Namun, setelah melihat
mukzijat kenabian dari Rasulullah saw., Suraqah akhirnya tunduk.
Rasulullah saw. akhirnya tiba di Yatsrib (Madinah) pada hari Jum’at
tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun yang sama. Beliau disambut penduduk
Madinah dengan meriah. Al-Barra bin ‘Azib seorang sahabat dari kaum
Anshor mengatakan, “Orang pertama dari para sahabat yang datang ke
Yatsrib ialah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang inilah
yangmengajarkan Al Qur’an kepada kami. Kemudian menyusul Ammar bin
Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Umar bin al-Khaththab bersama kafilah
yang terdiri dari dua puluh orang. Setelah itu, barulah Rasulullah saw
datang menyusul. Saya belum pernah melihat banyak orang bergembira
seperti saat mereka menyambut kedatangan beliau, sehingga kaum wanita,
anak-anak, dan para hamba sahaya perempuan bersorak-sorai meneriakkan,
“Itulah dia, Rasulullah saw telah datang.” (HR. al-Bukhari).
Kedatangan Rasulullah saw di kota Yatsrib ternyata membawa perubahan
yang sangat besar bagi perkembangan Islam. Paling tidak, beliau berhasil
menjadi juru damai bagi dua suku asli penduduk Yatsrib, yaitu suku Aus
dan Khzaraj. Rasulullah saw. mempersaudarakan, menyatukan, dan
mendamaikan mereka dengan ikatan iman dan Islam serta persaudaraan
Islamiyah. Sehingga terhapuslah di hati mereka militansi kesukuan yang
sempit. Sementara itu, para pendatang Muhajirin juga mulai mewarnai
aktivitas di kota itu dengan perdagangan. Tak lama kemudian, kaum
Muhajirin mampu menggeser dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi.
Rasulullah saw. kemudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru, yaitu:
1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun masjid;
2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan
mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk
asli Madinah, yaitu kaum Anshor;
3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam,
baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan
perjanjian perdamaian.
Melalui tiga hal di atas, Rasulullah saw. berhasil membangun
masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang
beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat
peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah saw. secara bertahap
menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan yang
damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu,
banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk
Islam.
Setelah terbentuknya negara Madinah, Islam mulai menguatkan
eksistensinya di wilayah sekitar kota Madinah, sampai kota Mekah pun
dapat dibebaskan. Dengan dibebaskannya Mekah tidak ada lagi hijrah ke
Madinah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada hijrah setelah pembebasan (Mekah).” (HR. al-Bukhari)
Tetapi, menurut Munawar Khalil, hijrah dalam pengertian meninggalkan
sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik atau hijrah secara
maknawiyah spiritual merupakan kewajiban bagi setiap muslim sepanjang
hidupnya. Hijrah maknawiyah ini terus berlaku sepanjang masa. Dan
mengingat pentingnya peristiwa hijrah ini, Umar ibnul Khaththab,
berdasarkan usul Ali bin Abi Thalib, menetapkan peristiwa hijrah ini
sebagai awal tahun penanggalan Islam.
Setelah mengalami perjalanan hijrah yang cukup melelahkan dan penuh
ketegangan, Rasulullah saw. dan Abu Bakar akhirnya sampai di kota
tujuan, Yatsrib. Kaum muslim yang menantikan mereka dengan cemas
akhirnya merasa lega. Mereka menyambut Rasulullah saw. dan Abu Bakar
dengan penuh suka cita. Mereka bahkan bersenandung, bernyanyi, dan
bersyukur akan kedatangan Rasullah saw. dan Abu Bakar yang selamat dan
tidak kurang suatu apapun jua.
Rasulullah saw. kemudian mengganti nama kota Yastrib dengan nama al-Madinah al-Munawarah atau lebih dikenal dengan Madinah. Kota ini kemudian menjadi tanah suci karena disucikan oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam sabdanya, “Rasulullah saw. telah mensucikan tanah antara dua laba (tanah berbatu hitam antara timur dan barat) Madinah.” (HR. Muslim). Kota ini terletak kurang lebih 350 km di utara kota Mekah.
Rasulullah saw. tiba pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H
atau 27 September 622 M di perkampungan Bani Najjar di Madinah. Beliau
turun dari untanya di depan rumah Abu Ayub, seraya berkata, “Di rumah
inilah, insya Allah”. Beliau kemudian masuk ke rumah Abu Ayub dan
tinggal untuk sementara waktu.
Sebelum masuk kota Madinah, Rasullah saw. singgah di pemukiman Bani
‘Amr bin ‘Auf selama empat belas hari. Dalam waktu yang singkat tersebut
beliau membangun masjid Quba. Masjid itu adalah menjadi masjid pertama
yang dibangun dalam sejarah Islam. Mengenai masjid tersebut, Allah swt.
berfirman, “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa
(masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu
bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at- Taubah: 108)
Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. mulai membangun masyarakat
baru, yakni masyarakat madani. Ada dua hal utama yang dikerjakan
Rasulullah saw, yaitu: Pertama, menguatkan hubungan vertikal kaum muslim dengan Allah swt., melalui sarana masjid; Kedua, menguatkan hubungan horizontal sesama muslim melalui proses ta-akhi (persaudaraan), dan antara umat Islam dengan non Islam dengan Mii-tsaqul Madinah (Piagam Madinah).
Di dalam hadits dijelaskan, pekerjaan pertama yang dilakukan
Rasululah saw. di Madinah adalah membangun masjid. Tempat yang dipilih
adalah sebidang tanah milik dua orang anak asuh As’ad bin Zararah di
Mirbad. Mereka sebenarnya ingin memberikan tanah itu secara cuma-cuma,
tetapi Rasulullah saw. tetap membayarnya. Tanah itu sebelumnya ditumbuhi
beberapa pohon kurma liar dan beberapa buah kuburan orang-orang
musyrik.
Masjid itu berukuran kurang lebih seratus hasta, terdiri dari
sebidang tanah segi empat sama sisi, dibatasi oleh bekas pelepah-pelepah
kurma, dengan kiblat masih menghadap ke Masjidil Aqsha. Lantainya
terdiri dari pasir dan kerikil, sedangkan tiang dan atapnya dari batang
dan pelepah daun kurma. Rasulullah saw. ikut turun tangan membangun
masjid bersama para sahabatnya. Mereka mengerjakannya sambil bersyair
dan bersenandung.
Mengapa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw. dan
bukan yang lainnya? Sebab, Rasulullah mengetahui bahwa imanlah
sesungguhnya inti kekuatan dari masyarakat madani yang hendak dibangun.
Maka, masjid adalah sarana yang tepat untuk memelihara iman agar tetap
kokoh dan mantap. Masjid akan melahirkan keimanan yang produktif, yang
hidup dan menghidupkan, dan memberi manfaat bagi kehidupan seluruh alam.
Adanya masjid menempa para sahabat untuk berjuang lebih lanjut, karena
memang tantangan dakwah Islam selanjutnya akan lebih berat. Karena itu,
mereka harus memiliki iman kokoh yang tidak melahirkan rasa takut dan
gentar kecuali kepada Allah swt., “Hanya yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap meadirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak
takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.” (at-Taubah: 18)
Selain itu, masjid ini juga diharapkan menjadi tempat pembinaan umat
secara keseluruhan, baik dalam rangka menyusun strategi dakwah maupun
taktik lainnya. Dari masjid inilah lahir masyarakat baru yang dikenal
dengan nama masyarakat madinah, nama itu menjadi acuan bagi peristilahan
masyarakat madani (civil societ) yang sekarang ini sedang ngetrend.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang harmonis dan seimbang, baik
secara lahir maupun batin, juga dalam hubungan vertikal kepada Al-Kholik dan horizontal sesama makhluk, “Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan
dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan
(dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari
itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang
demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan
balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya
Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)
Masjid secara vertikal menguatkan hubungan seorang hamba kepada
Tuhannya, dan secara horizontal menguatkan hubungan antar anggota
masyarakat muslim. Proses ini berjalan secara paralel, yaitu seiring
adanya pertemuan intens dalam sholat fardhu sehari semalam sebanyak lima
kali dan sholat Jum’at sekali seminggu. Hal ini melahirkan barisan kaum
muslimin yang kokoh dan kuat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah
saw. Barisan ini kemudian menjadi pasukan yang mampu menaklukkan
kekuatan pasukan kaum musyrik Mekah di berbagai peperangan. Barisan ini
juga ditakuti oleh kabilah-kabilah di pedalaman, dan pada akhirnya mampu
membalikkan kenyataan: mengusir tentara Romawi dan berhadapan dengan
pasukan Rustum (seorang jenderal Persia). Beberapa saat sebelumnya,
tidak terbersit sedikitpun di dalam benak kaum muslim bahwa mereka akan
mampu melakukannya. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh.” (ash-Shaff: 4)
Hal kedua yang Rasulullah saw. lakukan adalah melaksanakan strategi ‘ta-akhi bainal muhaajiriina wal anshaari’
(persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor) yang dimaksudkan untuk
menguatkan kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslim. Tujuan lain
dari hal ini adalah untuk menguatkan hubungan antara pendatang dan
penduduk asli, memusnahkan fanatisme kesukuan ala jahiliyah, dan
menumbuhkan semangat pengabdian yang ditujukan hanya untuk Islam. Karena
secara historis, orang-orang Anshar yang terdiri dari suku ‘Aus dan
Khajraz pernah saling bermusuhan. Darah yang belum kering, dendam yang
belum padam, sirna dihapus oleh jiwa baru persaudaraan Islam.
Melalui persaudaraan ini, Rasulullah saw. berhasil menyatukan kaum
muslimin tidak hanya pada tataran teoritis, namun juga pada tataran
aplikasi. Pada kenyataannya, persaudaraan ini mengikat serta
mempersatukan tidak hanya jiwa namun juga harta mereka. Mengenai hal
ini al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut, “Setibanya kaum
Muhajirin di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Abdur
Rahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Ketika itu, Sa’ad berkata
kepadanya, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta
kekayaan. Harta kekayaanku ini akan aku bagi dua, separuh untukmu dan
separuh untukku. Aku juga mempunyai dua orang isteri, lihat mana yang
paling baik untuk anda. Sebutkan namanya, maka ia akan segera
kuceraikan, dan sehabis masa iddahnya kupersilahkan engkau menikah
dengannya.” Mendengar hal itu, Abdur Rahman menjawab, “Semoga Allah
memberkahi keluarga dan kekayaan anda. Tunjukan saja kepadaku, dimanakah
pasar kota kalian?” Abdur Rahman kemudian ditunjukkan pasar milik Bani
Qainuqo. Maka mulailah Abdur Rahman berkerja, dan ketika pulang ia
membawa gandum dan samin. Setiap pagi dia melakukan hal itu. Sampai
pada satu hari beliau mendatangi Rasulullah saw. dengan pakaian yang
bagus dan rapi. Rasulullah saw. pun berkata kepadanya, “Apakah engkau
sudah mempunyai penghasilan?” Jawabnya, “Saya sudah menikah.” Rasulullah
saw. bertanya lagi, “Berapa mas kawin yang engkau berikan kepada
isterimu?” Ia menjawab lagi, “Setail uang emas.” (HR. al-Bukhari)
Sesungguhnya dialog yang terjadi antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan
Sa’ad bin Rabi’ melebihi dialog antar dua insan bersaudara. Akan tetapi,
sesungguhnya ia merupakan dialog iman. Dari dialog ini terlihat sikap itsar atau rela berkorban, membagi, dan solidaritas, namun juga diimbangi dengan sikap ta’affuf atau harga diri yang tinggi, pantang menyerah, dan putus harapan. Antara itsar dan ta’affuf,
antara membagi dan dan tidak putus asa adalah sinergi yang melahirkan
dinamika dan produktivitas hidup. Hal ini melahirkan energi kuat yang
menjadi penggerak kemenangan kaum muslim saat itu.
Namun, dua jiwa itu seakan hilang saat ini. Tidak ada lagi itsar dan ta’affuf. Kalaupun ada itsar namun ta’affuf
mati, seakan-akan memberi makan orang kuat namun pemalas. Akibatnya,
umat Islam dewasa ini menjadi mandul, kurang produktivitas, dan hina di
mata musuhnya. Akan tetapi, generasi awal umat ini tidaklah demikian,
sebagaimana Abdur Rahman bin ‘Auf yang mempunyai jiwa pantang menyerah.
Hanya dalam waktu singkat ia sudah mampu menikah lagi dengan mahar yang
cukup mahal. Abdur Rahman bin ‘Auf bersama Ustman bin Affan serta
sahabat lainnya merupakan pebisnis ulung, yang pada akhirnya mampu
menggusur dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi di Madinah.
Karena itu, memepertahankan martabat dan harga diri, tingginya
solidaritas, dan kesiapan berkorban menjadi penentu bagi kemuliaan Islam
dan umatnya. Di sisi lain, amat tercela bagi sebagian orang yang
memeluk Islam sekaligus menelan Islam, yaitu orang-orang yang mencari
makan atas nama Islam sehingga mengakibatkan hancurnya martabat dan
kehormatan Islam di dunia ini.
Sesungguhnya Islam dibangun atas landasan persaudaraan sejati yang
merupakan buah dari keimanan yang tinggi. Jika kita mengambil contoh
dari Rasulullah saw. dan para sahabat, maka persaudaraan sejati semacam
itu hanya terdapat pada manusia-manusia yang berjiwa bersih dan
berakhlak mulia. Persaudaraan ini melahirkan cinta kasih, ibarat mata
air yang memancar keluar dan mengalir dengan sendirinya. Hal ini tidak
bisa dipaksakan dengan peraturan atau undang-undang apapun juga.
Persaudaraan ini akan berkembang di dalam hati dan membebaskan fikiran
manusia dari cengkeraman egoisme, kekikiran, serta akhlak dan budi
pekerti yang rendah.
Inilah dia sesungguhnya gambaran masyarakat madani itu, satu tipe
alternatif yang dicita-citakan masyarakat manusia sekarang ini.
Masyarakat yang harmonis, penuh kasih sayang dan toleransi, serta rahmat
bagi semua. Karena itulah, mengawali keberadaannya di kota Madinah,
Rasulullah saw. mensosialisasikan slogan-slogannya, yaitu keselamatan,
kesejahteraan, keamanan, kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan.
Abdullah bin Salam, seorang rahib Yahudi yang masuk Islam,
mengatakan, “Aku mendatangi Rasulullah saw. saat ia tiba di Madinah.
Jelaslah bagiku wajahnya, dan tidak tampak padanya wajah seorang
pendusta. Hal yang pertama kali aku dengar dari ucapan-ucapannya adalah:
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan,
sambungkanlah persaudaraan, dan sholatlah di waktu malam sementara
manusia tidur, maka kalian akan masuk surga Tuhanmu dengan sejahtera.” (HR.at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan ad-Daarimi)
“Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak tenteram dari gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)
“Seorang muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)
“Tidak beriman seseorang daripadamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Orang-orang beriman seperti satu tubuh, apabila matanya sakit,
sakit pulalah seluruh badannya, dan apabila kepalanya sakit, sakit
pulalah seluruh tubuhnya.” (HR.Muslim)
“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, dan saling
bertengkar. Tetapi, jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang
bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan (memusuhi)
saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar