BIOGRAFI HATTA RAJASA
Ir M Hatta Rajasa, seorang pengusaha dan
CEO sukses yang kini berkonsentrasi jadi politisi. Semua perusahaannya
dijual setelah masuk partai. Pria relijius penganut pluralisme dalam
politik ini berobsesi menjadi politisi negarawan yang mendahulukan
kepentingan bangsa. Terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerja
sama sejak kecil. Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini, dipercaya dan
menunjukkan integritas dan kapasitasnya ketika menjabat Menristek pada
Kabinet Gotong-Royong, Menteri Perhubungan pada Kabinet Indonesia
Bersatu, Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I serta
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II.
Banyak orang tak menduga dia menjadi Menteri Perhubungan Kabinet
Indonesia Bersatu. Sama seperti saat dia dipercaya menjabat Menteri
Riset dan Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong-Royong. Maklum, lulusan
perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, diprediksi banyak
orang lebih pas menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun,
dengan kemampuan manajerial yang dimilikinya, jabatan apa pun dapat
diemban dengan baik. Terbukti, semasa menjabat Menristek, ia berhasil
mengangkat nama bangsa, manakala terpilih menjadi Presiden Ke-46
Konfrensi IAEA (The International Atomic Energy Agency) dengan pemilihan
(voting).
Sebagai politisi yang berkali-kali mengemban amanah
sebagai menteri di berbagai kabinet, pria berambut perak kelahiran
Palembang, 18 Desember 1953 ini, berupaya menjalankan peran secara
optimal jabatan yang diamanahkannya, baik sebagai Fungsionaris Partai
Amanat Nasional (PAN), Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Republik
Indonesia Kabinet Gotong-Royong, Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia
Bersatu I dan Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I
serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu
II tanpa terjadinya kemungkinan loyalitas ganda dan abuse of power, “My
loyality to the party end when loyality to the state began”.
Kekuasaan hanyalah sebuah sarana, bukan tujuan utama, ‘Power is a means,
but not our ultimate goal.’ Tujuan utama kita adalah mewujudkan
Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan, terbuka, dalam masyarakat
majemuk yang saling menghormati. Pernyataan ini sekaligus bermakna
penegasan posisinya sebagai politisi negarawan yang ingin terus
mengabdikan diri kepada bangsa.
Jika diamati, ia tidak pernah
bicara politik atau partai ketika berperan sebagai menteri. Ia selalu
menempatkan posisinya pada konteks dan waktu yang tepat. Saat ia bekerja
sebagai menteri, ia bicara mengenai bidang tugasnya sebagai menteri.
Dan jika ia ke daerah, terutama Sabtu-Minggu – waktu yang benar-benar
disediakannya untuk partai – ia bicara sebagai fungsionaris partai.
Jujur dan Mandiri
Jujur dan Mandiri
Anak kedua dari 12 bersaudara ini telah terlatih untuk bekerja keras,
jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Ia berasal dari keluarga
pamong. Ayahnya seorang pamong bernama H. Muhammad Tohir, ibunya bernama
Hj. Aisyah binti Alaydrus. Kakeknya juga pamong di Ogan Komering Ilir
(OKI), Sumatera Selatan bernama Ahmad Pangeran Raksawiguna. Ayahnya,
ketika masih lajang adalah seorang tentara yang berjuang di tanah Jawa.
Namun, sesudah menikah berhenti dari tentara, beralih jadi pegawai
negeri sipil, dan berkali-kali mengemban tugas sebagai camat di berbagai
wilayah di Sumatera Selatan.
Sebagai anak yang berasal dari
keluarga sederhana — ayahnya pegawai negeri yang bekerja keras dan jujur
— Hatta telah terbiasa hidup apa adanya, jujur dan berdisiplin. Orang
tuanya memang mendidiknya dengan disiplin yang tinggi.
Setelah ia tamat SD, ayahnya menjadi Asisten Wedana (Camat) di daerah Muarakuang. Di kecamatan itu belum ada SMP. Sehingga Hatta kecil dititipkan kepada pamannya di Palembang. Jarak antara Palembang dengan kecamatan itu, kira-kira seratus kilometer. Tapi jika berangkat siang hari dari Palembang menggunakan motor, baru akan sampai larut malam, karena jalan jelek sekali.
Di situ ia mulai mengenal arti sebuah kehidupan. Di
situ juga perkembangan kemampuan emosionalnya banyak dipengaruhi oleh
lingkungan. Yakni setiap orang itu haruslah saling menolong, saling
memberi dan mau berkorban bagi orang lain. Di situ ia sudah menyadari
bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena kemampuan dirinya
sendiri, tapi 60% adalah karena kerjasama orang lain, jasa orang lain,
terutama ibu-bapaknya, keluarga, teman dan kerabat. Juga berkat doa
orang tua.
Pandangan ini, yakni semangat toleransi dan menghargai
orang lain, sangat dijiwainya sejak kecil. Sampai saat ini, pandangan
ini tetap mempengaruhi hidupnya. Karena, sejak tamat SD, ia sudah harus
hidup dengan keluarga orang lain. Itu berarti ia harus belajar tahu diri
sebagai orang yang dititipkan. Harus bekerja. Pagi-pagi ia harus bangun
untuk melakukan tugas-tugas di rumah pamannya, antara lain mengisi bak
mandi dengan pompa. Setengah enam ia sudah mengayuh sepeda ke sekolah.
Ia melakukan itu sampai tamat SMA di Palembang. Dari sejak tamat SD, ia
sudah berpisah dengan orang tua, hanya bertemu sekali-sekali. Sampai ia
menyelesaikan kuliah di ITB. Pada masa ini, sekolah dan berpisah dengan
orang tua, dirasakannya sebagai periode pendewasaan intelektual. Aspek
relijius, emosional dan rasionalnya dibentuk dalam dua periode itu,
yakni ketika SMP-SMA di Sumatera Selatan dan ketika kuliah di ITB.
Ketika di ITB, ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, sebagai Waka
Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan Senator Mahasiswa ITB.
Selain itu, semasa kuliah, ia juga sempat menjadi aktivis Masjid Salman
Bandung.
Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara masa
lalu, ketika ia sebagai aktivis, dengan zaman sekarang. Di masa lalu
menjadi aktivis itu, menjadi musuh pemerintah. Oleh sebab itu,
aktivis-aktivis yang lalu itu, untuk menjadi aktivis dia harus memiliki
keberanian, karena risikonya tinggi. Sehingga karena challengeyang
demikian besar ketika menjadi aktivis pada masa lalu itu, ia memetik
hikmah yang sangat indah dan itu membentuk kepribadiannya bahwa setiap
orang tidak boleh takut mengatakan sebuah kebenaran.
“Kalau
dibandingkan dengan masa sekarang ini, kita mau teriak apapun, kita mau
jungkir balik, mau mengata-ngatain orang tidak ada satupun yang mau
menangkap. It’s a completely different challenge. Challenge-nya sangat
berbeda,” katanya.
Setamat dari ITB jurusan perminyakan,
sebenarnya ia ingin menjadi dosen, tapi tidak kesampaian. Mungkin karena
ketika mahasiswa, ia seorang aktivis dan suka memberontak terhadap
pemerintah saat itu.
Ketika itu, sebenarnya ia diterima bekerja
di beberapa tempat dengan gaji yang lebih besar. Tapi ia tolak. Ia lebih
ingin mandiri dengan membuat perusahaan yang bergerak di bidang
perminyakan sesuai pendidikannya.
Lalu ia bersama teman-temannya
merintis usaha itu sampai memiliki beberapa badan usaha yang
berkerjasama dengan perusahaan asing dan Petamina. Sejak tahun 1982
sampai 2000 ia menjabat Presiden Direktur Arthindo. Sebelumnya, ia
menjabat Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi, perusahaan pengeboran
minyak. Tapi, begitu ia memutuskan bergabung dengan partai politik,
semua kegiatan usaha itu dihentikan, semua dijual. Ia masuk Partai
Amanat Nasional (PAN). Setelah masuk partai, benar-benar ia berhenti
total dari usaha, tidak lagi memiliki usaha dan tak mau berbisnis.
Ia benar-benar konsentrasi di satu bidang. “Karena itu sifat saya.
Kalau saya berusaha (bisnis), saya tidak mau bercampur dengan kegiatan
lain. Begitu juga ketika masuk partai politik, saya konsentrasi dan juga
tidak mau mencampur-baurkannya dengan usaha yang lain,” kata Ketua Umum
DPP PAN ini.
Politisi Pluralis Relijius
Sebelum masuk PAN,
ia tidak pernah berpolitik praktis. Karena tidak ada kesempatan sesuai
iklim politik pada zaman orba. Padahal ketika mahasiswa, ia menyenangi
bidang tersebut. Sehingga ketika Amien Rais menggerakkan reformasi, ia
pun sudah mulai ikut aktif. Saat itu, ia menjadi ketua I Alumni ITB
cabang Jakarta. Di situ ia sudah mulai aktif ikut gerakan reformasi,
sampai ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut bergabung.
Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua Departemen Sumber Daya Alam dan
Enerji. Kemudian, setelah kongres I, ia terpilih menjadi Sekjen. Pada
Pemilu 1999, ia pun terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari PAN, dari
wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga legislatif itu, ia terpilih
menjadi ketua Fraksi Reformasi DPR RI.
Ketika di Senayan itu, ia
benar-benar konsentrasi. Itu memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika
permulaan masa reformasi tergolong sangat luar biasa. Pada masa transisi
dari pemerintahan Habibie ke Gus Dur dan kemudian ke Megawati, ia
sebagai ketua Fraksi Reformasi, mampu menerjemahkan dan mengejawantahkan
garis partainya yang didisain demikian apik oleh Ketua Umumnya Amien
Rais.
Sehingga Hatta bisa berperan banyak dalam kancah
perpolitikan nasional, sebagai support atas peran Amien Rais yang
berperan sangat besar sebagai‘king maker’ pentas politik nasional. Tak
heran bila pada saat itu, wartawan DPR/MPR memilih Hatta sebagai salah
satu dari 10 tokoh DPR terbaik.
Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua
Pemilu PAN. Ketika kongres PAN di Yogyakarta, ia sibuk menjadi ketua
panitia pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu yang saling
bertarikan. Ia mengambil posisi berada di tengah saja. Ia termasuk orang
yang menginginkan keutuhan dan kekokohan partai PAN.
Pria
relijius ini ingin PAN tetap berada di tengah, tidak terseret ke kanan
atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai plural, lintas agama, dan
lintas budaya. Maka, tak heran jika pada waktu itu, saat pemilihan
formatur, ia mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu,
memilih Amien Rais tetap sebagai ketua umum dan ia menjadi Sekjen.
Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The right man on the right
place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga kadang-kadang orang
memandangnya seperti berseberangan dengan kelompok yang lain. Sementara,
ia sendiri menganggapnya biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai
dengan asas partai yaitu sebagai partai plural yang berbasis utama
Islam. Sebuah partai yang dia yakini mampu mengakomodir dan menyuarakan
aspirasi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, namun plural, bhinneka
tunggal ika, dari Sabang sampai Merauke.
Piawai Dalam Komunikasi Politik
Pada permulaan reformasi, sebagai masa transisi, anggota-anggota dewan
terpilih dengan sistem Pemilu yang baru. Mereka lebih independen dan
tidak dapat di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi itu, saat
menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk mengartikulasikan hak
individunya sebagai wakil rakyat tidak tergantung dengan fraksi dan
partainya semata.
Ia mampu menempatkan diri dan menjaga
keseimbangan, secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus sebagai
anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa fraksi adalah perpanjangan
tangan dari partai politik, maka harus melakukan komunikasi yang intens
untuk membawa suara partainya. Akan tetapi, pada saat bersamaan, ia juga
tidak kehilangan jati diri sebagai seorang anggota dewan, yang harus
bertanggungjawab secara individu kepada konstituen yang memilihnya.
Di masa transisi itu, bahkan sampai saat ini, ia sangat yakin, bahwa
tidak mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini
sendirian. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan dengan loby dan
musyawarah lintas fraksi. Sebagai anggota dewan dan Ketua Fraksi
Reformasi ketika itu, ia banyak berdiskusi dan menyerap prinsip dan
langkah politik Amien Rais selaku Ketua Umum PAN. Maka ia pun aktif
menggalang komunikasi politik lintas partai.
Namun semua yang
terjadi dalam dunia politik tidak pernah dilibatkan dalam kehidupan
pribadi atau menjadi sebuah sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi
yang suka berteriak dengan pendapat-pendapat yang kedengarannya
menghentakkan, tapi tanpa solusi.
Baginya dalam berpolitik ada
dua hal penting yang perlu diperhatikan yakni
(1) sikap konsisten yang
disertai
(2) tingkat moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh
berbeda pendapat tapi jangan menghujat.
Ia memang termasuk tipe orang
yang tidak suka menghujat. Jika ada perbedaan pendapat, ia dengan santun
dan terbuka menyampaikan bahwa ia mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi
jika pendapat orang lain memang lebih benar, ia pun akan mengikuti
pendapat itu. Sebaliknya, jika pendapatnya yang benar, yang lain juga
seharusnya mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.
Jadi,
menurutnya, persoalan politik dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa
harus menyakiti perasaan orang. Tetapi jika dalam berpolitik sudah ada
bibit-bibit suka dan tidak suka, maka persoalan apapun tidak dapat
diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat diselesaikan dengan
nyaman, aman dan elegan, jika ada sikap saling menghargai.
Dukungan Keluarga
Perjalanan karirnya pastilah juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga,
terutama isteri dan anak-anaknya. Terutama saat ia memilih menjadi
politisi, dimana seorang pengusaha dan CEO meninggalkan bisnis dan fokus
sebagai politisi, sebuah keputusan yang tidak mudah bagi seorang yang
sudah mempunyai keluarga dengan kehidupan yang mapan.
Ketika itu,
tahun 1999, anak-anaknya masih kecil. Putra terbesarnya saat itu baru
tamat SMP mau ke SMA. Ketika mengambil keputusan itu, ia memang
berdialog panjang dengan keluarga, dengan istri terutama. Suatu hal yang
tidak mudah baginya karena memilih memasuki dunia yang lain sama
sekali. Ia mengaku tidak gampang meyakinkan keluarganya. Ia menegaskan,
sekali ia berpolitik maka ia tidak akan menyentuh bisnis, harus
dilepaskan semua. Ia pun harus berpikir mempersiapkan dari hasil-hasil
usahanya itu buat keluarga dan buat berpolitik.
Suatu keputusan
tentang kehidupan yang betul-betul berbeda. Dari sebuah kehidupan yang
rada teratur, saat magrib bisa sembahyang bareng dengan anak-anaknya,
menjadi sebuah kehidupan yang bisa disebut tidak teratur sama sekali.
“Mereka sempat shock. Kan waktunya sangat pendek. Tahun 1998 PAN
didirikan, tahun 1999 saya sudah menjadi anggota DPR, tahun 1999 saya di
Senayan dan nyaris tidak pulang-pulang. Saya tidur di hotel dan jarang
sekali ketemu dengan anak-anak, selama berapa bulan itu. Mereka
bertanya-tanya, ‘kenapa kehidupan ini menjadi begini’. Dia tidak pernah
ketemu bapaknya tapi lihat bapaknya di TV terus,” kenangnya.
Lalu
ia pun menceritakan pelan-pelan kepada anak-anaknya bahwa inilah
kehidupan. Ia jelaskan bahwa “dimanapun kita berada, papa sebagai
pengusaha, papa sebagai pengajar, papa sekarang mau jadi politisi, semua
itu adalah bagian dari ibadah.” Keluarganya pun memahami dan menerima.
Sementara gaya hidup keluarganya tampak biasa-biasa saja saat ia kemudian diangkat menjadi menteri. Istrinya tetap nyetir sendiri, dan sangat marah kalau ke daerah harus dikawal, harus ada ajudan.
“I
never change my style of life. Saya tidak suka, misalnya tiba-tiba
menjadi harus sangat formal, never change soal-soal seperti itu,”
ujarnya. Anak-anaknya juga begitu, mereka biasa saja, dan mereka protes
serta tidak mau tinggal di rumah menteri, dan memilih tetap tinggal di
rumah pribadinya.
Jadi tidak ada sesuatu yang berubah. Hanya
kadang-kadang, seperti anaknya yang paling kecil bertanya: ‘Pak, orang
bilang pejabat negara itu sama dengan korupsi?’ Menjawab pertanyaan anak
kecil yang kritis ini, ia mengaku tidak gampang menjelaskan sampai si
kecil memahaminya.
Keluarganya memang harus memahami tugas
panggilannya. Sebab bagi dia, hari Sabtu hari Minggu hari keluarga,
tidak ada. Baginya semua hari-hari keluarga, semua hari-hari kerja,
semua hari ya hari. Semua hari untuk bekerja, untuk beribadah. Sehingga
frekuensi untuk ketemu anak-anak jauh berkurang.
Namun, pada
Sabtu-Minggu kalau berada di Jakarta ia berupaya melepas kebebasan diri.
Ia nyetir sendiri. Sabtu-Minggu supir pulang. Tidak ada ajudan. Ia
malah menjadi happy.
Internalisasi Demokrasi
Internalisasi Demokrasi
Menurutnya, di
Indonesia banyak persoalan besar yang sebenarnya sudah dapat
diselesaikan tanpa mengakibatkan konflik. Satu di antaranya proses
demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara, berserikat dan
mendirikan partai sudah terselesaikan. Sementara di banyak negara lain
persoalan ini belum selesai.
Namun, menurutnya, hal ini harus
dibarengi dengan pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan
melakukan internalisasi demokrasi melalui tiga hal. Yaitu, pertama,
secepat mungkin menyu-sun sebuah proses rekruitmen yang sehat. Karena
jika partai politik tidak dapat melakukan tugas ini dengan benar maka
yang merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.
Misalnya jika
kita perhatikan wakil rakyat yang ada di kota kabupaten dan daerah
tingkat I, yang mulai dikritik oleh masyarakat, ini adalah tanda bahwa
partai politik belum dapat melaksanakan rekruitmen yang sehat. Jadi hal
ini harus cepat diselesaikan. Tidak ada pilihan lain, karena partai
politik adalah ujung tombak demokrasi, yang akan membangun pemerintah-an
dan suprastruktur di republik ini. Jika hal ini tidak dilaksanakan,
tujuan kita untuk mencapai demo-krasi modern yang menghasilkan good
government atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.
Kedua
adalah bagaimana di antara partai politik menciptakan suasana
berkompetisi yang tidak menimbulkan konflik, yang tentu diatur melalui
undang-undang dan peraturan partai politik.
Ketiga adalah
bagaimana partai-partai politik menyelesaikan persolan-persoalan
mengenai transparansi keuangannya, serta adanya peraturan yang mengatur
bagaimana partai-partai politik dapat ikut dalam Pemilu.
Ia
sendiri adalah orang yang mendukung dibentuknya aturan yang jelas agar
setiap orang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya dalam membentuk
partai politik tanpa dipersulit. Sebab hal itu adalah hak dasar. Jika
seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilang-an kemanusiaannya. Ia
dikatakan manusia karena memiliki kebebasan. Jadi jika ia kehilangan hak
dalam berkumpul dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.
Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan itu harus disepakati bersama
dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab jika mudah berubah, malah akan
menjadi sangat rawan bagi terjadi-nya konflik. Sebagai pembanding bisa
lihat di luar negeri yang aturannya jelas. Sehingga partai politiknya
sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa tersebut.
Ia sangat
sedih jika banyak tokoh-tokoh non-partai, yang sebenarnya dapat menjadi
tokoh partai, berada di luar partai lalu hanya dapat mengkritisi dan
menutup diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya saja yang dapat
mewakili rakyat. Padahal semua tahu, partai politik adalah ujung tombak
demokrasi. Jadi membangun demokrasi harus dengan cara memperkuat partai
politik dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau mendirikan partai
politik. Walaupun di sisi lain kita juga harus mempuyai masyarakat sipil
yang kuat untuk mengarahkan gerak partai politik.
Korupsi dan Kemiskinan
Pengagum Bung Karno dan Amien Rais ini melihat ada tiga masalah yang
dihadapi bangsa ini dalam beberapa tahun terakhir, yakni kemiskinan,
terancamnya kerukunan dan ganasnya korupsi.
(Ia memajang foto
Bung Karno bersalaman dengan Kanselir Jerman Conrad Adenaeur (1953).
Ketika itulah orang-orang Indonesia dikirim ke Jerman yang kemudian
menjadi scientist-scientist kita di sini. Jadi, ia bangga dengan
shakehand-nya Bung Karno dengan Kanselir Jerman ini. Conrad Adenaeur
adalah bapak pembangunan ekonomi yang membangun kembali Jerman, paska
perang dunia kedua.)
Tiga persoalan besar yang menjadi
perhatiannya itu: Pertama, mening-katnya secara tajam kemiskinan di
Indonesia dari 22,5 juta atau sekitar 11,3% dari seluruh penduduk
Indonesia pada tahun 1996 membengkak jadi 49,5 juta orang atau sekitar
24,2% dari jumlah penduduk pada tahun 1998. Kemiskinan ini, sebagai
akibat kemiskinan struktural maupun kemiskinan karena gelombang resesi.
Standar untuk menentukan garis kemiskinan pada 1996 adalah pendapatan
per kapita sebesar Rp 38.246 per bulan untuk perkotaan dan Rp 27.413
untuk pedesaan.
Lalu, tahun 1999 jumlah penduduk miskin itu
sedikit berkurang menjadi 48,4 juta orang. Standar yang digunakan secara
nominal, yaitu Rp 92.409 untuk perkotaan dan Rp 74.272 untuk pedesaan.
Lalu tahun 2002 berkurang lagi menjadi sekitar 37,5 juta orang. UU
Program Pembangunan Nasional (Propenas), mengama-natkan jumlah penduduk
di bawah garis kemiskinan pada 2004 tidak boleh lebih dari 30 juta orang
atau sekitar 14% dari jumlah penduduk.
Namun, pemerintah
memperkirakan penurunan rasio angka kemiskinan yang ditargetkan dalam
Propenas itu tidak akan tercapai. Maksimal upaya yang bisa dilakukan
pemerintah adalah menekan rasio angka kemiskinan tersebut antara 16
sampai 17 persen.
Kemiskinan ini telah mengakibatkan
ketidakberdayaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama
bidang kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan menghasilkan
generasi lemah. Berakibat kepada sumber daya manusia yang tidak tangguh
pada generasi berikutnya. Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia sangat
serius tentang hal ini.
Kedua, menurunnya semangat toleransi dan
terlalu mengedepan-kan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan dalam
konteks hukum, konteks agama, atau dalam konteks kelompok. Semangat
kebersamaan jauh menurun, yang berakibat terdesaknya kelompok masyarakat
miskin yang tidak berdaya.
Ketiga, hal yang paling klasik, yakni
masih ganasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita
membutuhkan sebuah resep. Resep yang mampu membangkitkan kembali
(revitalisasi) semangat kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.
Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. “Tetapi jika Tuhan memberikan
kesempatan untuk meminta apa saja dan pasti dikabulkan-Nya, saya pasti
tidak akan meminta supaya saya berkuasa, tetapi saya akan meminta agar
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas dari kemiskinan dan
kebodohan. Itu yang pasti saya minta. Hanya satu itu saja,” kata
Menristek ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang
kerjanya.
Profil Lengkap
Nama Lengkap : Ir. M. Hatta Rajasa
Lahir: Palembang,18 Desember 1953
Agama: Islam
Isteri: Drg.Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa,
Anak: Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid
Lahir: Palembang,18 Desember 1953
Agama: Islam
Isteri: Drg.Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa,
Anak: Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid
Pendidikan: Insinyur Perminyakan Institut Tehknologi Bandung (ITB)
Pengalaman Pekerjaan:
2009-2014 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II
2007-2009 Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I
2004-2007 Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu
2001-2004 Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong
2000-2005 Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN)
1999- 2000 Ketua Fraksi Reformasi DPR.
1982- 2000 Presiden Direktur Arthindo
1980 -1983 Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi Perusahaan pengeboran minyak
1977 -1978 Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
2007-2009 Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I
2004-2007 Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu
2001-2004 Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong
2000-2005 Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN)
1999- 2000 Ketua Fraksi Reformasi DPR.
1982- 2000 Presiden Direktur Arthindo
1980 -1983 Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi Perusahaan pengeboran minyak
1977 -1978 Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
Penghargaan :
“Bintang Mahaputera Adipradana” – Pemerintah Republik Indonesia (2013)
“Narasumber/Pejabat Yang Paling Mudah Dihubungi Wartawan” – Persatuan Wartawan Indonesia Jaya (2013)
“Economic Booster of The Year” – Indonesia Property&Bank (2013)
“Reformasi Award” – Pro Democracy (2013)
“Pemimpin Pembangunan Ekonomi Nasional” – Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jawa Timur (2013)
“The Rising Stars’s Men Obsession’s 9 Young Leaders 2013-2014″ – Men Obsession’s (2013)
“Gwanghwa Medal” – The first rank of the Order Of Diplomatic Service Merit, Republic of Korea Jakarta (2012)
“Pemimpin Perubahan 2011″ – Republika (2011)
“Public Policy Award” – Asia Society (2011)
“Ganesha Prajamanggala Bakti Kencana” – Institut Teknologi Bandung (2011)
“Charta Politica Award” – (2010)
“Ganesha Prajamanggala Bakti Adiutama” – Institut Teknologi Bandung (2009)
“Narasumber/Pejabat Yang Paling Mudah Dihubungi Wartawan” – Persatuan Wartawan Indonesia Jaya (2013)
“Economic Booster of The Year” – Indonesia Property&Bank (2013)
“Reformasi Award” – Pro Democracy (2013)
“Pemimpin Pembangunan Ekonomi Nasional” – Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jawa Timur (2013)
“The Rising Stars’s Men Obsession’s 9 Young Leaders 2013-2014″ – Men Obsession’s (2013)
“Gwanghwa Medal” – The first rank of the Order Of Diplomatic Service Merit, Republic of Korea Jakarta (2012)
“Pemimpin Perubahan 2011″ – Republika (2011)
“Public Policy Award” – Asia Society (2011)
“Ganesha Prajamanggala Bakti Kencana” – Institut Teknologi Bandung (2011)
“Charta Politica Award” – (2010)
“Ganesha Prajamanggala Bakti Adiutama” – Institut Teknologi Bandung (2009)