|
Anis Matta Bertemu Gurunya Dulu |
Awal tahun 1980
datang seorang anak kecil bersama pamannya ke Pesantren Darul Arqam
untuk mendaftarkan diri sebagai santri. Anak bertubuh kurus itu menjadi
santri paling kecil diantara ratusan santri lainnya.
Demikian penuturan seorang guru di Pondok Pesantren Darul Arqam,
Ustadz Abdul Djalil Thahir ketika bincang-bincang santai bersama tim
media Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan (Sulsel)
baru-baru ini.
"Santri kecil itu bernama Anis Matta, bocah bertubuh kecil tapi pemberani," kata Abdul Djalil
Abdul Djalil melanjutkan ceritanya bagaimana Anis Matta dalam usia 11
tahun mampu menjadi santri yang melebihi santri-santri lainnya.
"Awalnya banyak santri yang tidak memperhitungkan Anis Matta, namun
dengan berjalannya waktu, anak itu memperlihatkan kemampuannya,
kecerdasannya dan kepiawaiannya dalam berkata-kata membuatnya diakui
oleh semua santri Darul Arqam," tuturnya.
Sosok Cerdas dan Disiplin
"Di Pesantren ini, kalian harus siap 'dipalu', 'digergaji', kalian
memang tidak merasakan manfaatnya saat ini, tapi kalian akan merasakan
manfaatnya saat keluar nanti," demikian nasihat yang seringkali
dilontarkan Abdul Djalil kepada ratusan santrinya.
Abdul Djalil yang merupakan guru bahasa arab di Darul Arqam
mengatakan bahwa Anis Matta sosok santri yang disiplin, Anis diakuinya
tidak pernah terlambat datang ke kelas.
“Saya sangat tegas jika mengajar, santri yang terlambat boleh
mengikuti pelajaran tapi dengan syarat berdiri sampai pelajaran usai.
Anis Matta tidak pernah terlambat mengikuti pelajaran, dia anak yang
rajin,” ungkap lelaki kelahiran 1945 ini.
Di Pesantren, lanjut Djalil, Anis Matta adalah sosok yang ramah, dia
tidak punya musuh dan tidak pernah bertengkar. "Dia disukai banyak orang
karena kecerdasan dan kebaikannya," ungkapnya.
Abdul Djalil Thahir
memaparkan bagaimana keseharian dan kepribadian Anis Matta selama
menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Arqam. Dia mengatakan bahwa
Anis Matta adalah sosok santri yang cerdas dan disiplin.
Djalil menambahkan bahwa Anis juga seorang anak yang ramah dan disenangi teman-temannya.
"Anis Matta adalah sosok yang ramah, dia tidak punya musuh dan
tidak pernah bertengkar, dia disukai banyak orang karena kecerdasan dan
kebaikannya," ungkapnya.
Nasi Kecap yang Membuatnya Jadi Orang Besar
Anis Matta pernah menceritakan dalam orasi-orasinya ketika melakukan
konsolidasi dengan kader di daerah bahwa menu sarapan paginya hanyalah
seporsi nasi kecap. Namun dari nasi kecap itulah ia kelak akan menjadi
orang besar, begitulah guru-gurunya sering menasehatinya.
Selain nasi kecap, sumur tempat para santri mandi pun jauh dari
pondok, berjarak 1 kilometer dan dikelilingi kubangan kerbau, membuat
air sumur tersebut bau.
"Yah, nasi kecap dan air bau itulah yang membuat Anis menjadi orang
besar dan berkarakter," ujar Abdul Djalil. Apa yang dinasehatkan para
gurunya ternyata benar adanya.
Dan kini ada dua santri cerdas lulusan Darul Arqam, Anis Matta yang
kini menjadi Presiden PKS dan Shamsi Ali yang kini menjadi Imam Besar di
Amerika Serikat.
Sosok yang Kritis
"Kalau kamu tidak bisa melawan dan mengalahkan saya, berarti kamu
bukan murid saya" itulah kalimat yang pernah terlontarkan dari Abdul
Djalil kepada Anis semasa berpondok di Darul Arqam.
Salah satu karakter Anis Matta yang disukai oleh Abdul Djalil adalah
sikap kritisnya. Dalam usia masih belasan tahun, Anis berani
menyampaikan kritikannya jika merasa tidak sesuai dengan pendapatnya.
Menurut Abdul Djalil itu adalah karakter pemimpin. Ayah dari delapan
anak ini menceritakan sikap kritis Anis Matta yang tidak bisa dia
lupakan.
“Saat itu Anis Matta kelas 6 (Tiga Aliyah), kebijakan di pesantren,
santri aliyah dimasukkan ke jurusan IPA, Anis dan teman-temannya tidak
setuju, karena harusnya mereka di jurusan syariah dan tarbiyah, tapi
karena saat itu saya lagi di luar kota mengikuti pendidikan selama 3
bulan maka dia belum sempat protes,” Kenang Abdul Djalil.
Menurutnya, Anis tidak bisa menahan gejolak ketidaksetujuannya, maka
dia mendatangi rumah Abdul Djalil dan bertemu dengan istri Sang Guru,
Khaeriah Abdul Jabbar.
“Bu, tolong berikan alamatnya ustad, kami mau kirim surat, kami tidak mau seperti ini,” protes Anis di depan istri Abdul Djalil.
Khaeriah tidak memberi dan mengijinkan Anis untuk mengirimkan surat
protesnya. “Tidak bisa, kamu tidak boleh mengganggu suami saya yang
sedang ikut pendidikan, kalau mau protes nanti saja ketika dia sudah
pulang,” tegas Khaeriyah menolak permintaan Anis, maka Anis pun menahan
keinginannya hingga Sang Guru kembali ke pesantren.
Saat kembali dari pendidikan, Abdul Djalil melihat gejolak dan sikap
kritis di mata Anis, maka dia menjelaskan semua hal yang berkaitan
dengan kebijakan pesantren.
“Kenapa kalian tidak mau belajar IPA? Padahal dalam Al-quran itu
isinya tentang alam dan cara mengatur alam,” kata Abdul Djalil
menjelaskan panjang lebar di depan ratusan santri, Anis mendengarkan
dengan seksama.
Setelah itu tidak ada penentangan, suami dari Khaeriyah Abdul Djabbar
itu sangat paham bahwa Anis memang kritis jika tidak ada hal yang
sesuai dengan pemikirannya, namun setelah mendapat penjelasan dan masuk
akal maka dia akan menjadi orang yang sangat patuh.