Banyak pertanyaan kepada kami mengenai ini, baik
melalui sms atau email. Terkait adanya Partai Islam yang mencalonkan Non
Muslim sebagai Caleg (Calon Anggota Legislatif) dari partai Islam
tersebut. Yang perlu ditekankan adalah tentunya caleg non muslim
tersebut wajib mengakui asas Islam dan platform partai Islam tersebut.
Apakah hal keberadaan mereka untuk membantu perjuangan Partai Islam
dibenarkan syariat? Ataukah ini hal yang sifatnya situasional dan bisa
berlaku bagi daerah tertentu, daerah yang minim umat Islam dan juga
lemah keadaannya seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, namun tidak
boleh bagi daerah lain yang umat Islam adalah mayoritas dan kuat,
seperti pulau Jawa dan Sumatera?
Debatable Sejak Lama …
Sebenarnya
masalah ini bukan permasalahan baru, tetapi sudah terjadi sejak lama;
yakni bolehkah dalam perjuangan umat Islam dengan memanfaatkan bantuan
orang kafir, baik bantuan dana, persenjataan, atau partisipasi langsung
jiwa raga mereka dalam barisan umat Islam.
Dahulu, awal tahun
90-an, pasca serangan Irak ke Kuwait, yang akhirnya melahirkan perang
teluk pertama, para ulama di kerajaan Arab Saudi memfatwakan bolehnya
meminta bantuan Amerika Serikat (saat itu dipimpin oleh George Bush
Senior) yang nota bene kafir untuk melawan keberingasan Saddam Husein,
seorang Sosialis Aktivis Partai Ba’ts Irak, yang didirikan oleh Michael
Aflaq, seorang Kristen. Mereka menganggap Saddam Husein sudah bukan lagi
muslim, baik karena kekejamannya kepada umat Islam Kurdi dan semua
lawan politiknya, dan juga karena ideologinya yang Sosialis. Kekafiran
Saddam Husein difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Said
Hawwa (Syria), Syaikh Abdullah ‘Azzam (
Al Filisthini tsumma Al Urduni),
dan lainnya. Sederhananya adalah memanfaatkan kekuatan orang kafir
untuk melawan orang kafir lainnya, karena keadaan diri yang masih lemah.
Fatwa
ini, bukan berarti tanpa kritik. Para ulama Arab Saudi sendiri
mengkritiknya, khususnya dari para ulama muda semisal Syaikh Salman Fahd
Al ‘Audah (Wakil Ketua Ikatan Ulama Muslimin Sedunia yang diketuai oleh
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi) dan Syaikh ‘Aidh Al Qarny (pengarang kitab
Laa Tahzan),
yang karena kritikannya itu mereka berdua di penjara oleh pihak
Kerajaan. Kritikan juga datang dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani
Rahimahullah yang tidak menyetujui fatwa tersebut. Sebab,
dari fatwa ini yang menjadi korban bukanlah AS dan Saddam Husein dan
tentaranya, tetapi rakyat Irak yang muslim. Merekalah yang mengalami
penderitaan karena kezhaliman AS dan Saddam Husein saat itu.
Lebih lama lagi, gerakan Islam terbesar abad modern,
Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir pada masa Al Ustadz Syahidul Islam Hasan Al Banna
Rahimahullah juga pernah menempatkan seorang
Kristen Koptik (Qibthy) sebagai wakil mereka di parlemen Mesir. Sejak jauh hari, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memang menyebutkan bahwa kaum Koptik akan menjadi penolong perjuangan umat Islam.
Dari Ummu Salamah
Radhiallahu ‘Anha, bahwa menjelang wafat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau berwasiat:
الله الله فى قبط مصر فإنكم ستظهرون عليهم فيكونون لكم عدة وأعوانًا فى سبيل الله
Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, dalam bergaul dengan kaum
Qibthi Mesir. Sesungguhnya kalian akan mengalahkan mereka, dan
mereka akan menjadi kekuatan dan pertolongan bagi kalian dalam perjuangan fi sabilillah. (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, No. 561, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 34023)
[1]
Abdullah bin Yazid dan Amru bin Huraits, dan selainnya, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنكم ستقدمون على قوم جعد رؤوسهم فاستوصوا بهم خيرا فإنهم قوة لكم وبلاغ إلى عدوكم بإذن الله ـ يعني قبط مصر ـ
Sesungguhnya kalian akan mendatangi kaum yang keriting kepalanya, maka
berwasiatlah yang baik-baik dengan mereka, karena mereka akan menjadi
kekuatan bagimu, dan menjadi bekal bagimu untuk melawan musuh-musuhmu
dengan izin Allah. –yaitu kaum Qibthi Mesir. (HR. Abu Ya’la No. 1473,
berkata Husein Salim Asad:
para perawinya tsiqaat (
terpercaya). Ibnu Hibban No. 6677)
[2]
Penolong kita adalah Allah, RasulNya, dan Orang-orang beriman
Inilah
dasar bagi setiap orang beriman, tidak ragu lagi dan tidak
diperdebatkan lagi, bahwa mereka menjadikan Allah, RasulNya, dan
orang-orang beriman sebagai tempat memberikan
Al Wala. Itulah hizbullah yang dijanjikan kemenangan oleh Allah
Jalla wa ‘Ala.
Al Wala bukan kepada orang kafir, musyrik, munafiq,
ahludh dhalal, dan
mubtadi’.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55)
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ
اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (56)
Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan
Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah
(hizbullah) Itulah yang pasti menang. (QS. Al Maidah: 55-56)
Secara khusus, tidak pula memberikan
Al Wala (loyalitas dan cinta) kepada Yahudi dan Nasrani, dan ini terlarang. Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
(51)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zhalim. (QS. Al Maidah: 51)
Secara khusus, tidak pula memberikan
Al Wala kepada orang-orang yang mempermainkan agama. Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا
دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (57)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah
ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi
kitab sebelummu (Yakni Ahli Kitab), dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu
betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. Al Maidah: 57)
Apakah makna
wali dalam ayat-ayat ini?
Wali jamaknya adalah
auliya’ yang berarti penolong dan kekasih. (Imam Ibnu Jarir,
Jami’ul Bayan, 9/319) Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang menguasai (pemimpin). (Ahmad Warson Al Munawwir,
Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Maka,
jelaslah bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang kafir
sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab wali
kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman.
Bagaimana jika keadaan tidak normal; lemah dan masih sedikit
Bagaimana
jika keadaan umat Islam masih sedikit (minoritas) -tentunya juga masih
lemah- bolehkah meminta bantuan mereka dalam sebagian urusan kaum
muslimin? Tentunya dalam hal ini adalah Partai Islam di sana
memanfaatkan non muslim sebagai wakilnya di parlemen mereka di sana?
Sebab, jangankan mencari kadernya sendiri, mencari orang Islam saja
tidak mudah. Tentunya adalah sebuah prestasi tersendiri jika ada Partai
Islam yang mampu mengajak orang kafir untuk turut membantu perjuangan
ideologi dan platform Partai Islam tersebut. Bagaimana bisa seseorang
yang tidak meyakini kerasulan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan tidak mengakui kebenaran Islam, justru dengan sadar jatuh hati dan
tertarik, lalu menawarkan dirinya ikut membantu perjuangan Partai Islam?
Lalu,
apakah ayat-ayat tentang larangan meminta bantuan kepada orang kafir
tetap berlaku dalam keadaan lemah dan minor seperti ini? Ataukah ini
situasi yang dimaafkan dan dikecualikan?
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukannya
Dalam proses perjalanan hijrah ke Madinah, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Ash Shiddiq
Radhiallahu ‘Anhu memanfaatkan jasa bantuan seorang dari
Bani Ad Diil yang beragama kafir Quraisy sebagai petunjuk jalan menuju Madinah.
‘Aisyah
Radhiallahu ‘Anha bercerita:
وَاسْتَأْجَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا
مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ
قُرَيْشٍ
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari
Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy. (HR. Bukhari No. 2264)
Ini
menjadi dasar bahwa meminta bantuan orang kafir adalah boleh, jika
dalam keadaan lemah, dan masih sedikit. Jika memang ini terlarang secara
mutlak, tentu Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi orang
pertama yang mencegah dirinya sendiri untuk melakukan itu dan dia akan
serukan kepada segenap manusia. Tetapi, kenyataan justru menunjukkan
sebaliknya, saat itu kaum muslimin yang tersisa di Mekkah tinggal
berlima; Nabi, Abu Bakar, putranya, Asma, dan Ali. Jumlah yang sedikit
dan tentunya lemah. Mereka pun sudah memiliki tugas masing-masing,
putranya Abu Bakar tetap berada di Mekkah untuk mengawasi keadaan dan
mencari=cari perkembangan berita. Asma
Radhiallau ‘Anha bertugas membawakan makanan untuk Nabi dan Abu Bakar, sementara Ali
Radhiallahu ‘Anhu berada di rumah nabi menggantikannya setelah nabi dikepung oleh gabungan berbagai kabilah kaum kuffar Quraisy.
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
juga pernah mendapatkan dukungan dari Musyrikin Bani Khuza’ah untuk
melawan musuhnya. Juga masih banyak peristiwa-peristiwa lainnya,
sebagaimana yang nanti kami lampirkan.
Pandangan Para Ulama
Al Hafizh Ibnu Hajar
Rahimahullah berkata tentang peristiwa hijrah tersebut:
وَفِي
الْحَدِيثِ اسْتِئْجَارُ الْمُسْلِمِ الْكَافِرَ عَلَى هِدَايَةِ
الطَّرِيقِ إِذَا أُمِنَ إِلَيْهِ واستئجار الْإِثْنَيْنِ وَاحِدًا على عمل
وَاحِد جَازَ
Dalam hadits ini menunjukkan bahwa
seorang muslim mengupah orang kafir untuk membantunya memberikan
petunjuk jalan jika hal itu aman baginya, dan juga dua orang yang
mengupah satu orang dalam satu perbuatan, itu adalah diperbolehkan. (
Fathul Bari, 4/442-443)
Imam Ibnu Baththal
Rahimahullah menjelaskan:
عامة
الفقهاء، يجيزون استئجارهم – أي المشركين – عند الضرورة وغيرها لما في ذلك
من المذلة لهم، وإنما الممتنع أن يؤاجر المسلم نفسه من المشرك لما فيه من
إذلال المسلم
Kebanyakan ahli fiqih membolehkan
mengupah mereka –yaitu kaum musyrikin- ketika kebutuhannya mendesak dan
selainnya, dan karena hal itu dapat merendahkan mereka (musyrikin),
sebaliknya seorang muslim janganlah menjadi orang yang diupah oleh kaum
musyrikin, karena hal itu dapat merendahkan seorang muslim. (Imam Ibnu
Baththal,
Syarh Shahih Al Bukhari, 6/387)
Imam Ibnul Qayyim
Rahimahullah berkata:
في
استئجار النبي صلى الله عليه وسلم عبد الله بن أريقط الدؤلي هاديا في وقت
الهجرة وهو كافر دليل على جواز الرجوع إلى الكافر في الطب والكحل والأدوية
والكتابة والحساب والعيوب ونحوها ما لم يكن ولاية تتضمن عدالة ولا يلزم من
مجرد كونه كافرا أن لا يوثق به في شيء أصلا فإنه لا شيء أخطر من الدلالة في
الطريق ولا سيما في مثل طريق الهجرة.
Pada saat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengupahi Abdullah bin Uraikith Ad Du’aliy sebagai orang yang menunjuki
jalan pada waktu hijrah, dia dalam keadaan kafir, menunjukkan bolehnya
merujuk kepada orang kafir dalam hal kedokteran, pengobatan, tulis
menulis, menghitung, dan semisalnya, selama pertolongan itu tidak
mengandung semakin kuatnya kekafirannya, maka tidak apa-apa memintanya
sebagai petunjuk jalan apalagi jalan untuk hijrah. (
Bada’i Al Fawaid, 3/208)
Imam Al Hazimi mengatakan:
وذهبت طائفة: إلى أن للإمام أن يأذن للمشركين أن يغزوا معه ويستعين بهم ولكن بشرطين:
(1) أن يكون في المسلمين قلة وتدعو الحاجة إلى ذلك.
(2) أن يكونوا ممن يوثق بهم فلا تخش ثائرتهم.
Segolongan
ulama berpendapat: “Pemimpin bisa mengizinkan orang-orang musyrik
bergabung bersamanya dalam peperangan dan membantu kaum muslimin, dengan
dua syarat:
Pertama, jumlah kaum muslimin hanya sedikit dan ada faktor yang mendorong kebutuhan itu.
Kedua, orang-orang musyrik tersebut bisa dipercaya dan tidak dikhawatiri akan memberontak.” (Imam Al Hazimi,
Al I’tibar fin Naasikh wa Mansuukh, Hal. 219)
Al Hazimi menambahkan:
ولا بأس أن يستعان بالمشركين على قتال المشركين إذا خرجوا طوعاً ولا يسهم لهم
“Boleh
meminta pertolongan kepada orang musyrik untuk memerangi orang musyrik
lainnya, selagi mereka bergabung dengan patuh dan tidak memberi andil
bagi musuh.” (
Ibid, Hal. 220)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan:
الاستعانة
بالمشرك المأمون في الجهاد جائزة عند الحاجة لأن عينه صلى الله عليه وسلم
الخزاعي كان كافراً إذ ذاك، وفيه من المصلحة أنه أقرب إلى اختلاطه بالعدو
وأخذه أخبارهم
Meminta pertolongan orang musyrik yang terpercaya dalam medan jihad adalah dibolehkan ketika dibutuhkan, sebab Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sendiri pernah meminta pertolongan kepada seorang dari Bani Khuzaah
yang kafir, dan di sini adanya maslahat karena orang yang diminta
bantuan tersebut bisa bergaul dengan musuh dan bisa diambil berita
tentang mereka darinya. (
Zaadul Ma’ad, 3/303)
Imam Ibnul Qayyim juga berkata:
للإمام أن يستعير سلاح المشركين وعدتهم لقتال عدوه. كما استعار رسول الله صلى الله عليه وسلم أدرع صفوان بن أمية وهو يؤمئذ مشرك
Seorang pemimpin bisa meminjam senjata dari kaum musyrikin dan apa saja
yang mereka miliki untuk memerangi musuh. Sebagaimana Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminjam baju perang dari Shafwan bin Umayyah yang saat itu masih musyrik. (
Ibid, 3/479)
Imam Muhamamd bin Abdul Wahhab
Rahimahullah mengatakan:
الانتفاع بالكفار في بعض أمور الدين ليس مذموماً لقصة الخزاعي
Memanfaatkan kaum kuffar pada sebagian urusan agama bukanlah termasuk
tercela berdasarkan kisah seorang dari Bani Khuza’ah. (
Mulhaq Mushannafat Al Imam Muhamamd bin Abdul Wahhab Hal. 7)
Demikianlah, dapat disimpulkan dari penjelasan para imam di atas:
-
Tidak apa-apa memanfaatkan bantuan orang kafir jika dalam keadaan lemah
dan masih sedikit, sebagaimana memanfaatkan non muslim menjadi caleg
partai Islam di daerah minoritas muslimnya. Ini adalah keadaan yang
memang tidak bisa disamakan dengan keadaan normal. Jika memang mutlak
terlarang, pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan
memanfaatkan bantuan Abdullah bin Uraikith, bantuan Musyrikin Bani
Khuza’ah, dan lainnya, ketika masih dalam keadaan awal dakwah Islam yang
sedikit dan belum memiliki power yang cukup.
- Lalu,
mereka wajib amanah dan mau patuh kepada kaum muslimin (dalam konteks
Partai Islam, mereka mau tunduk dengan AD/ART, Asas Islam, dan
Platformnya)
Jika Kaum Muslimin mayoritas ….
Ada
pun jika keadaan umat Islam mayoritas di sebuah daerah, maka tidak ada
pilihan yang sulit untuk menjadikan seorang muslim saja sebagai caleg.
Maka, tidak dibenarkan menjadikan non muslim sebagai caleg. Sebab, ini
bukan situasi yang dikecualikan.
Umar bin Al Khathab
Radhiallahu ‘Anhu menulis surat kepada Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu sebagai penguasa (gubernur) Bahrain yang sudah berhasil ditaklukkan, berikut ini penggalan suratnya:
…وَأَبْعِدْ
أَهْلَ الشَّرِّ وَأَنْكِرْ أَفْعَالَهُمْ وَلَا تَسْتَعِنْ فِي أَمْرٍ
مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ بِمُشْرِكٍ، وَسَاعِدْ عَلَى مَصَالِحِ
الْمُسْلِمِينَ بِنَفْسِكَ، فَإِنَّمَا أَنْتَ رَجُلٌ مِنْهُمْ غَيْرَ
أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَكَ حَامِلًا لِأَثْقَالِهِمْ.
“… dan
jauhilah pelaku keburukan dan ingkarilah perbuatan mereka, dan janganlah
meminta pertolongan kepada orang musyrik dalam mengurus urusan kaum
muslimin, dan bantulah kemaslahatan kaum muslimin oleh dirimu sendiri,
karena engkau adalah seorang laki-laki termasuk golongan mereka maka
Allah akan menjadikanmu sebagai pembawa beban berat yang mereka bawa.”
(Imam Ibnul Qayyim
, Ahkam Ahludz Dzimmah, 1/455)
Umar bin Al Khathab
Radhiallahu ‘Anhu juga pernah meminta Abu Musa Al Asya’ri
Radhiallahu ‘Anhu mencopot sekretarisnya yang Nasrani, berikut ini kisahnya:
عَنْ
أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ لِي كَاتِبًا نَصْرَانِيًّا، قَالَ: مَالِكٌ؟
قَاتَلَكَ اللَّهُ! أَمَّا سَمِعْتَ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ} [المائدة: 51] ، أَلَا اتَّخَذْتَ حَنِيفًا، قَالَ:
قُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لِي كِتَابَتُهُ وَلَهُ دِينُهُ،
قَالَ: لَا أُكْرِمْهُمْ إِذْ أَهَانَهُمُ اللَّهُ وَلَا أُعِزُّهُمْ إِذْ
أَذَلَّهُمُ اللَّهُ، وَلَا أُدْنِيهِمْ إِذْ أَقْصَاهُمُ اللَّهُ.
Abu Musa Al Asy’ari berkata: Aku berkata kepada Umar: “Aku punya
seorang sekretaris seorang Nasrani.” Beliau menjawab: “Kenapa kamu ini?
Semoga Allah memerangimu.” Aku pernah mendengar Allah Ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. (QS. Al Maidah: 51). Kenapa kamu tidak menjadikan seorang yang hanif (muslim)?
Aku menjawab: “Wahai Amirul mukminin, saya membutuhkan tulisannya, sedangkan agamanya urusan dia sendiri.”
Umar
menjawab: “Aku tidak memuliakan mereka ketika Allah telah menghinakan
mereka, dan aku tidak meninggikan mereka ketika Allah telah merendahkan
mereka. Aku tidak merendahkan mereka ketika Allah telah meninggikan
mereka.” (
Ibid, 1/454)
Demikian. Wallahu A’lam
Lampiran:
Berikut ini adalah ringkasan kitab
At Tahalluf As Siyasi fil Islam, karya Syaik Munir Muhammad Al Ghadhban, tentang koalisi, kerjasama politik, perdamaian, dan perjanjian yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dengan orang-orang kafir, baik pada masa awal kenabian, ketika sedikit
dan lemah, masa awal pembentukan negara Madinah, dan seterusnya. Kitab
ini diringkas oleh Al Ustadz Al Fadhil Nabil Fuad Al Musawa -
Hafizhahullah wa Jazahullah khairan.
—
Adakah Koalisi-Politik di Masa Nabi Muhammad SAW??[3]
Oleh: Nabiel Fuad Al-Musawa
[4]
Definisi
- Secara bahasa Arab (lughah) at-Tahaluf (koalisi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dengan fulan maka ia menjadi sahabatnya)[5].
- Secara
syar’i maknanya pun sama, dalam hadits nabi SAW disebutkan dari Ashim
RA: “Aku berkata kepada Anas bin Malik: Apakah telah sampai kepadamu
bahwa nabi SAW bersabda: “Tidak ada hilfu dalam Islam.” Maka jawab Anas RA: “Bahkan nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar di rumahku.” (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi).
Koalisi-Koalisi Jahiliyyah di Masa Sebelum Kenabian yang Didukung Oleh Nabi SAW
1. Perjanjian Muthayyibin,
yaitu koalisi antara kabilah Bani Abdud-Dar, Bani Jamah, Bani Salim,
Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan
atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing-masing tangannya ke dalam
mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga
dinamakan
Muthayyibin (orang-orang yang memakai minyak wangi). Tentang ini nabi SAW bersabda:
“Aku
menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku tidak ingin
membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang
ternak.” (HR Ahmad dalam
al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193).
Dan ketika nabi SAW menaklukkan Mekkah (
fathul Mekkah)
dan sedang duduk di Masjidil Haram, Ali RA berkata: Wahai Rasulullah,
kita telah menguasai kunci Ka’bah dan air zamzam. Lalu nabi SAW berkata:
Di mana Usman bin Thalhah? Ini kuncimu, ambil kunci ini selamanya dan
tidak akan merebutnya kecuali orang yang aniaya. (
Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-II, hal. 412)
2. Perjanjian Fudhul,
yaitu koalisi antara Bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Abdul
‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin Murrah untuk tidak
membiarkan kezhaliman di kota Mekkah baik terhadap penduduk pribumi
maupun terhadap pendatang (
Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 133-134). Tentang ini nabi SAW bersabda:
“Aku
telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an,
perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi
kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu
dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”[6]
Koalisi Politik Pada Masa Awal Kenabian Yang Dilakukan Nabi SAW Dengan Kaum Musyrikin Baik Terhadap Perorangan Maupun Kelompok
- Perlindungan Abu Thalib pada nabi SAW, ketika turun ayat QS 26/214 maka nabi SAW memanggil bani Hasyim, bani Muthalib bin Abdi Manaf dan berkata : “Segala
puji bagi ALLAH, aku memuji dan memohon pertolongan kepada-NYA, beriman
dan bertawakkal kepada-NYA, aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain ALLAH
Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA. Sesungguhnya pemandu jalan
tidak akan menyesatkan orang yang dipandu. Demi ALLAH yang tiada Ilah
kecuali DIA, DIA Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA, bahwa aku adalah
utusan ALLAH bagi kalian secara khusus serta untuk semua manusia secara
umum. Demi ALLAH bahwa kalian akan meninggal dunia sebagaimana kalian
tidur dan akan dihidupkan kembali sebagaimana kalian bangun, lalu kalian
akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang telah kalian lakukan.
Sesungguhnya surga dan neraka adalah abadi.” Maka Abu Thalib berkata
: “Alangkah senangnya aku dapat menolongmu, menerima segala nasihatmu,
dan menjadi orang yang paling percaya akan tutur katamu, mereka yang
berkumpul ini adalah keturunan nenek moyangmu, dan aku adalah salah satu
dari mereka, hanya saja aku adalah orang yang paling dulu senang dengan
apa yang kau senangi, maka laksanakan apa yang telah diperintahkan
Tuhan kepadamu. Demi ALLAH aku akan selalu bersamamu dan menjagamu, akan
tetapi aku tidak mampu meninggalkan agama Abdul Muthalib. Maka abu
Lahab berkata: Demi ALLAH ini adalah malapetaka! Cegah dia sebelum
mempengaruhi yang lain! Maka jawab abu Thalib: Demi ALLAH! Aku akan
selalu menjaganya selama aku masih hidup! (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 265).
- Perlindungan Syi’ib Bani Hasyim,
diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri :
Orang-orang kafir berkumpul untuk merencanakan pembunuhan pd nabi SAW,
yang akan dilakukan secara terang-terangan, ketika kabar itu didengar
oleh abu Thalib, maka ia mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib
untuk melindungi nabi SAW, di antara mereka ada yang melakukannya
berdasarkan keyakinan pd kebenaran Islam dan ada pula yang ingin
melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub kesukuan) saja (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 93, Dar al-Arabiyyah).
- Perlindungan Muth’im bin ‘Adi,
ketika nabi SAW pulang dari Tha’if untuk kembali ke Mekkah maka beliau
SAW mengutus seseorang dari suku Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi
dan berkata: Apakah engkau bersedia menjadi pelindung Muhammad? Muth’im
menjawab: Ya. Lalu ia menyiapkan pedangnya dan berkata pada kaumnya:
Hunuskan senjata kalian dan berdirilah di setiap pojok Ka’bah,
sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad! Muth’im lalu mengutus orang
untuk mempersilakan Muhammad SAW masuk ke Mekkah, maka nabi SAW dan Zaid
bin Haritsah RA pun memasuki Mekkah. Sesampainya di Ka’bah maka Muth’im
bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata: Hai orang-orang Quraisy!
Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan ada yang berani
mengganggunya! Maka nabi SAW pun menyelesaikan thawaf, mencium hajar
aswad, melakukan shalat 2 rakaat dan kembali ke rumahnya. Sedangkan
Muth’im dan anak-anaknya terus menjaga nabi SAW, sampai ia masuk ke
rumahnya. (ar-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakfuri, riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir juz-III, hal. 150)
- Tawaran nabi SAW terhadap qabilah-qabilah Arab, Al-Maqrizi berkata dalam kitab al-Imta’ al-Asma’:
Nabi SAW langsung menawarkan dan menyerukan Islam sendiri kepada
kabilah-kabilah pada setiap musim hajji, di antaranya adalah pada bani
Amir, Ghassan, Fazarah, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abbas, Nashr,
Tsa’labah, Kindah, Kalb, Harits, Udzrah, Qais. Dari seruan itu dipahami
bahwa keislaman seluruh kabilah tersebut bukanlah yang terpenting, namun
kepercayaan kabilah-kabilah tersebut untuk memberikan perlindungan
kepada nabi SAW untuk melaksanakan dakwahnya, sebagaimana perlindungan
bani Hasyim sebelumnya pada nabi SAW juga tidak seluruhnya muslim,
bahkan abu Thalib sendiri sampai wafatnya tidak masuk Islam. (Sirah
Nabawiyyah, Ibnu Hisyam I/422-425)
Koalisi Politik Pada Fase Pembentukan Negara
- Bai’at Aqabah Pertama,
ketika nabi SAW melewati Mina beliau bertemu dengan 6 orang pemuda
Yatsrib dari suku Khazraj, mereka adalah As’ad bin Zurarah, Auf bin
Harits, Rafi bin Malik bin Ajlan, Quthbah bin Amir bin Hadidah, Uqbah
bin Amir bin Nabi dan Jabir bin AbduLLAH bin Riab. Maka nabi SAW berkata
pada mereka: “Maukah kalian mendengarkan apa yang akan kukatakan?” Mereka
menjawab: Silakan. Maka nabi SAW mengajak mereka untuk menyembah ALLAH
SWT dan membacakan pada mereka ayat-ayat suci al-Qur’an. Lalu nabi SAW
bersabda: “Sanggupkah kalian memberikan perlindungan kepadaku?” Mereka
menjawab: Ya Rasulullah, saat peperangan Bu’ats dulu kami saling
berperang, jadi kalau sekarang engkau tidak memiliki banyak pendukung.
Biarlah kami kami kembali, semoga kami dapat mengajak keluarga kami dan
menyatukan kaum kami untukmu. Jika mereka semua telah berkumpul, maka
tidak seorang pun yang lebih mulia darimu. Kami berjanji perayaan hajji
yang akan datang. (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin Muhammad bin Abdul
Wahhab, hal.125)
- Bai’at Aqabah Kedua, dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin AbduLLAH RA secara rinci
disebutkan, Jabir RA berkata: Wahai Rasulullah, dalam hal apa kami
membaiat engkau? Maka jawab nabi SAW: “Untuk mendengar dan taat, baik
ketika kalian sedang semangat maupun ketika malas; memberikan sedekah
baik ketika lapang maupun sempit; berdakwah pd kebenaran dan menentang
kemungkaran; mentaati ALLAH SWT dan tidak melakukan hal yang
dimurkai-NYA; dan menolongku dan melindungiku jika aku datang ke tempat
kalian, sebagaimana perlindunganmu kepada dirimu, istri dan anak-anakmu.” Maka jawab mereka: Ya Rasulullah, apa imbalan dari semua itu? Jawab nabi SAW: “Kalian akan mendapatkan surga.” Setelah itu maka nabi SAW membaiat mereka dan memilih 12 orang naqib di antara mereka yaitu 9 dari Khazraj dan 3 dari Aus.
Koalisi Politik Dengan Kaum Yahudi dan Musyrikin Saat Pembentukan Negara Baru
1.
Saat nabi SAW memasuki Madinah maka beliau SAW menghadapi masyarakat
yang sangat heterogen dalam suku dan agama, ada Muhajirin, suku Khazraj,
suku Aus, Yahudi bani Quraizhah, Yahudi bani Qainuqa, para pimpinan
ekonomi seperti AbduLLAH bin Ubay bin Salul, dsb. Maka dibuatlah
perjanjian sebagai berikut: 1) Perjanjian persaudaraan di antara sesama
muslim, 2) Perjanjian tolong-menolong kaum muslimin dengan kaum
musyrikin, 3) Perjanjian kerjasama antara kaum muslimin dengan
kelompok-kelompok besar qabilah Arab non muslim, 4) Peraturan-peraturan
yang berlaku umum.
2. Perjanjian yang terkenal tersebut kemudian
disebut Piagam Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi Manusia
antar agama, suku dan golongan pertama di dunia yang tertulis dalam
sejarah, yang isinya (saya kutipkan hanya yang terkait dengan non muslim
saja) adalah sebagai berikut
[7] :
a. Bab-II (dengan orang Yahudi) :
01
Orang Yahudi bani Auf hidup berdampingan dengan kaum mukmin. Bagi orang
Yahudi diperbolehkan menganut agama mereka, dan bagi orang mukmin
diperbolehkan menganut agama mereka, begitu pula terhadap harta dan jiwa
masing-masing.
02 Apabila ada salah satu dari mereka (Yahudi)
melakukan kezhaliman dan kesalahan, mereka tidak dapat dihukum
semuanya, kecuali mereka yang melakukan perbuatan tersebut atau
keluarganya.
03 Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Nadir mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
04 Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Haritsah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
05 Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Saidah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
06 Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Jasyim mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
07 Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Aus mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
08
Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Tsa’labah mempunyai kesamaan dengan
orang Yahudi bani Auf, kecuali bagi yang berbuat kezhaliman dan
kesalahan. Dan mereka semua tidak dihukum kecuali hanya yang berbuat
kesalahan tersebut.
09 Sesungguhnya keselamatan jiwa orang bani Tsa’labah seperti orang-orang bani Auf.
10 Sesungguhnya orang-orang bani Syathbiyyah seperti orang-orang bani Auf.
11
Memberi pertolongan pada perbuatan baik dan bukan pada perbuatan buruk.
12
Bahwa orang-orang yang terikat perjanjian dengan bani Tsa’labah diperlakukan sama dengan kaum mukminin.
13
Bahwa keselamatan jiwa orang-orang Yahudi sama dengan keselamatan jiwa kaum mukminin.
14 Tidak dibolehkan seorang pun dari orang Yahudi keluar dari Madinah kecuali atas izin Rasul SAW.
15 Tidak dibolehkan seorang pun pergi ke Mekkah untuk balas dendam.
16
Barangsiapa yang melakukan pembunuhan maka hanya dirinya dan
keluarganya lah yang mendapat hukuman dari perbuatannya, kecuali jika ia
orang yang dizhalimi.
17
ALLAH melindungi isi perjanjian ini (ALLAH senantiasa memberikan keridhaan atas segala isi perjanjian).
18
Orang Yahudi bekerja sama dengan kaum muslimin dalam mengumpulkan biaya perang, selama terjadi peperangan.
b. Bab-IV (Peraturan-peraturan umum) :
01 Tidaklah berdosa bagi orang-orang mukmin yang melakukan perjanjian perdamaian dengan mereka.
02 Hendaknya pertolongan ditujukan pada orang yang dizhalimi.
03 Orang-orang yang terikat dalam perjanjian ini dilarang untuk membunuh penduduk kota Yatsrib.
04
Seorang tetangga bagaikan sebuah jiwa yang tidak pernah melakukan
sesuatu yang membahayakan dan kesalahan terhadap dirinya sendiri.
05 Tidak dibolehkan menikahi seorang wanita, kecuali atas izin keluarganya.
06
Apabila terjadi suatu permasalahan atau perselisihan yang dikhawatirkan
akan terjadi perpecahan antara orang-orang yang memegang perjanjian
hendaknya hal tersebut dikembalikan pada ALLAH SWT dan nabi Muhammad
SAW.
07 Sesungguhnya ALLAH bersama orang yang paling mematuhi dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya isi perjanjian.
08 Tidak dibolehkan memberikan perlindungan kepada orang-orang Quraisy dan para penolongnya.
09 Mereka harus saling menolong atas segala musibah yang menimpa penduduk Yatsrib.
10
Apabila mereka diajak untuk berdamai dan melaksanakan segala usaha
untuk menuju perdamaian, mereka harus berdamai dan mewujudkan perdamaian
tersebut.
11 Jika mereka dianjurkan untuk melakukan yang seperti itu, maka orang-orang mukmin juga memiliki beban yang sama.
12 Kecuali terhadap orang yang memerangi agama mereka.
13 Tiap manusia memiliki bagiannya masing-masing dari apa yang ia kerjakan.
14
Bagi orang-orang Yahudi bani Aus, baik kolega ataupun diri mereka,
memiliki persamaan mengenai isi perjanjian, dengan orang-orang yang
memegang perjanjian ini. Dalam hal yang baik, bukan terhadap perbuatan
jelek. Dan tidak akan mendapat hukuman kecuali yang melakukannya.
15 Sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang paling patuh dan paling baik dalam menjalankan isi perjanjian ini.
16 Isi perjanjian ini tidak berlaku atas orang yang melakukan kezhaliman dan kesalahan.
17 Sesungguhnya ALLAH dan Rasul-NYA akan selalu menolong orang-orang yang baik dan bertakwa.
Koalisi Politik Dengan Kaum Musyrikin Setelah Pembentukan Negara Madinah
- Koalisi Politik Nabi SAW dengan qabilah-qabilah Musyrikin
di luar Madinah untuk melawan Quraisy, seperti dengan bani Mudallij dan
bani Dhamrah di sepanjang laut Merah pd jalur yang menuju ke Syam,
ketika pemimpin musyrik bani Juhainah, Majdi bin Amru al-Juhanilah
bertemu nabi SAW di Madinah, maka ia disambut oleh nabi SAW sehingga ia
berkata: “Sungguh aku tidak tahu bahwa Maimun itu seorang pemimpin yang baik dalam urusan ini.”[8]
Dan ditetapkanlah perdamaian antara keduanya dengan kesepakatan Nabi
SAW tidak memerangi bani Dhamrah dan bani Dhamrah tidak memerangi nabi
SAW serta memprovokasi kelompok lain untuk memusuhi nabi SAW serta tidak
memberi bantuan kepada musuh nabi SAW[9].
- Bahwa
pasca koalisi-koalisi politik yang dilakukan oleh nabi SAW tersebut
(terutama pasca perang Badar dan perjanjian Hudhaibiyyah) maka nabi SAW pun seringkali dikhianati dan disabot isi perjanjiannya
terutama oleh kaum Yahudi (persis yang dilakukan oleh kelompok sekular
terhadap kemenangan-kemenangan partai Islam saat ini), tapi beliau SAW
berusaha mengatasi semua bahaya dan bertahan agar tidak menghadapi 2
musuh sekaligus (Quraisy dan Yahudi), kecuali setelah kaum muslimin bisa
mengalahkan musuh terbesarnya kafir Quraisy yaitu pasca perang Ahzab.
- Bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang turun berkenaan tentang larangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim turun berkenaan dengan tema ini (jadi bukan sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengerti asbab an nuzul, bahwa ayat tersebut melarang partai Islam berkoalisi politik dengan orang kafir di parlemen). Contohnya QS 5/51 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu. Karena sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain…” Sabab an nuzul ayat
ini adalah turun berkenaan tentang sikap AbduLLAH bin Ubay bin Salul
yang melarang nabi SAW memerangi Yahudi bani Qainuqa karena mereka telah
membelanya selama ini[10]…
Lalu bagaimana mungkin ayat ini ditafsirkan sebagai ayat yang melarang
semua jenis koalisi politik dengan non muslim, sementara nabi SAW
sendiri berkoalisi dan meminta perlindungan kepada pamannya Abu Thalib,
Muth’im bin Adi, dll yang semuanya adalah non muslim!!! Jadi jelaslah
bagi kita bahwa duduk perkaranya adalah bahwa masalah ini tergantung
pada fase pertumbuhan dan kekuatan dari partai Islam itu sendiri.
- Coba
bandingkan dengan ayat ke-52-nya yang memuji sikap Ubadah bin Shamit RA
yang juga memiliki perjanjian dengan Yahudi tersebut tapi memutuskannya
setelah pengkhianatan mereka pada nabi SAW tersebut sebagai berikut: “Dan
barangsiapa mengambil ALLAH, Rasul-NYA dan orang-orang beriman sebagai
penolong maka partai ALLAH itulah yang akan menang.” Jadi permasalahannya bahwa konteks ayat itu adalah keharusan mentaati kebijakan pemimpin
(yang saat itu dipegang oleh nabi SAW), serta ketaatan pada syura yang
telah diputuskan oleh gerakan Islam. Hal lain yang dapat ditambahkan
sebagai argumen adalah bahwa ALLAH SWT tidak pernah membatalkan koalisi
politik dengan bani Nadhir dan bani Quraizhah, maka bagaimana mungkin
ayat tersebut melarang berkoalisi dengan non muslim, sementara
perjanjian nabi SAW telah berjalan selama 4 tahun!!!
- Latar-belakang peristiwa Fathu (penaklukan) Mekkah.
Pada saat terjadi perjanjian Hudhaibiyyah dulu, maka bani Bakr memilih
bersekutu dengan Quraisy, sementara bani Khuza’ah memilih bersekutu
dengan nabi SAW (keduanya adalah qabilah musyrik). 22 bulan setelah
Hudhaibiyyah di bulan Sya’ban bani Bakr menyerang dan membunuh 23 orang
bani Khuza’ah di dekat mata air al-Watir dekat Mekkah. Maka Amru bin
Salim dari Khuza’ah bersama 40 orang kaumnya datang dan melantunkan
sya’ir tentang kepedihan kaumnya dan mengadukan pada nabi SAW. Maka nabi
SAW berdiri sambil menyeret bajunya bersabda: “Aku tidak akan ditolong ALLAH SWT, jika aku tidak menolong bani Ka’ab sebagaimana aku menolong diriku sendiri!”[11] Dalam lafz Ibnu Ishaq disebutkan: “Aku
tidak akan mendapat pertolongan jika tidak menolong bani Ka’ab seperti
aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan ini menjerit memintakan
pertolongan untuk bani Ka’ab.”[12]
Maka lihatlah bagaimana nabi SAW memegang perjanjian politiknya dengan
kabilah musyrikin dan bahkan menggerakkan pasukannya untuk memerangi
Mekkah karena membela kabilah musyrikin yang telah berkoalisi politik
dengan kaum muslimin!
- Turunnya surat Bara’ah (at-Taubah).
Setahun setelah penaklukan Mekkah dan kaum muslimin telah memiliki
kekuatan yang besar, dan ketika semua kekuatan yang menentang Islam di
wilayah jazirah Arab telah jatuh ke tangan kaum muslimin, maka barulah
ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yang memerintahkan memutuskan semua
hubungan perjanjian pd kaum musyrikin: “Inilah pernyataan pemutusan
hubungan ALLAH dan Rasul-NYA dari orang-orang musyrik yang kalian (kaum
muslimin) telah mengadakan perjanjian dengannya…” (QS 9/1), maka
ketika ayat ini turun nabi SAW mengutus Ali RA untuk menyusul Abu bakar
RA yang sedang memimpin hajji dengan kaum muslimin yang lain untuk
membacakan dan mengumumkan ayat ini, maka Ali RA mengumumkan 4 hal: 1)
Setelah tahun ini tidak boleh lagi orang musyrik mendekati Ka’bah, 2)
Tidak boleh lagi thawaf dalam keadaan telanjang, 3) Tidak akan masuk
surga kecuali orang mukmin, 4) Barangsiapa yang masih ada perjanjian
dengan Rasulullah maka akan ditepati sampai akhir masanya. Point yang
ke-4 ini ditegaskan pd ayat ke-4 dari QS 9 tersebut, az-Zamakhsyari
berkata dalam tafsirnya al-Kasysyaf bahwa istitsna (pengecualian) dalam ayat tersebut bermakna istidrak
(penyusulan kalimat), sehingga makna ayatnya adalah : Barangsiapa yang
menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya maka sempurnakanlah
perjanjian tersebut dan jangan perlakukan mereka sebagaimana orang yang
tidak menepati perjanjiannya dan sebaliknya jangan jadikan orang yang
tidak menepati perjanjian seperti yang menepatinya. Imam Ibnul Qayyim[13] menyatakan bahwa setelah turunnya ayat ini maka kaum kafir dibagi 3, yaitu muharibin (yang memerangi kaum muslimin), ahlul ‘ahdi (yang masih ada perjanjian dengan kaum muslimin) dan ahlu dzimmah (kafir yang berada dalam perlindungan nabi SAW).
Kesimpulan: Tinjauan Fiqih Tentang Koalisi Politik Yang Dibolehkan Dalam Islam
- Hukum meminta bantuan pada orang musyrik di luar urusan perang, adalah dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas, ada pula hadits Bukhari yang mempertegas sebagai berikut: Nabi SAW dan Abu bakar menyewa seorang bani Dalil yang masih mengikuti agama Quraisy sebagai penunjuk jalan ke Madinah.”
- Hukum meminta bantuan kepada orang musyrik dalam peperangan saat kaum muslimin lemah baik jumlah maupun kemampuannya, maka ini dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya[14]
menyatakan: Jika kaum muslimin dalam keadaan darurat dan tidak bisa
menang maka dibolehkan meminta bantuan pd kafir Harbi tersebut,
sepanjang ia yakin bahwa kemenangan tersebut tidak membahayakan jiwa,
harta dan kehormatan kaum muslimin, sebagaimana istitsna (pengecualian) ALLAH SWT terhadap kebolehan memakan bangkai saat kondisi terpaksa (…kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya…). Dalam hal ini ada yang mendebat kami dengan menyebutkan firman ALLAH SWT: ..Dan tidaklah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.” (QS
18/51). Maka jawaban kami adalah, ayat ini tidak tepat untuk kasus ini
karena kita Sama sekali tidak menjadikan mereka sebagai penolong
melainkan mengadu mereka sebagian dengan sebagian yang lain, karena
mereka adalah sama jahatnya satu dengan lainnya maka ayat yang benar
adalah “…dan demikianlah KAMI jadikan sebagian orang yang zhalim sebagai teman bagi sebagian yang lain karena apa yang mereka perbuat.”
(QS 6/129), juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh AbduLLAH bin Rabi’
dari Muhammad bin Mu’awiyah dari Ahmad bin Syu’aib dari Imran bin Bakr
bin Rasyid dari abu Yaman dari Syu’aib bin abi Hamzah dari az-Zuhri dari
Sa’id bin Musayyib dari abu Hurairah berkata: “Rasul SAW bersabda: ALLAH SWT akan menegakkan agama ini dengan bantuan orang yang fajir.” Maka Imam abu Muhammad berkata: Meminta bantuan pada ahlul harb (kafir harbi) dalam melawan kafir harbi yang lain dibolehkan, sebagaimana juga dibolehkan meminta bantuan pada muslim yang fajir untuk menghentikan kezhaliman muslim yang zhalim. (Selesai kutipan dari Ibnu Hazm)
Man yuridiLLAHa bihi khairan yufaqqihhu fid diin…
—
Catatan Kaki:
[1] Imam Al Haitsami berkata tentang hadits ini:
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح.
Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dan para perawinya adalah perawi shahih. (
Majma’ Az Zawaid, 10/63)
Syaikh Al Albani juga berkata tentang hadits ini:
قلت: وهذا إسناد صحيح لا أعرف له علة؛ فإن رجاله كلهم ثقات
Saya berkata: isnad hadits ini shahih, saya tidak mengetahui adanya
cacat, dan semua perawinya adalah terpercaya. (
As Silsilah Ash Shahihah No. 3113)
Imam An Nawawi menyebutkan:
وفيه معجزات ظاهرة لرسول الله صلى الله عليه و سلم منها اخباره بأن الامة تكون لهم قوة وشوكة بعده
Pada hadits ini terdapat mu’jizat yang jelas bagi Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya adalah pengabaran Beliau bahwa bagi mereka akan ada umat yang menjadi kekuatan dan senjata setelah itu. (
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/97. Mawqi’ Ruh Al Islam)
[2] Imam Al Haitsami berkata tentang hadits ini:
رواه أبو يعلى ورجاله رجال الصحيح.
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya adalah perawi shahih. (
Majma’ Az Zawaid, 10/64)
[3] Diringkas dari kitab
at-Tahalluf as-Siyasi fil Islam, Syaikh Munir Muhammad al-Ghadhaban
[4] Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Pertanian Universitas Djuanda (UNIDA) Bogor
[5] Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ahmad bin Fariz bin Zakaria, bab
ha, lam, fa; juz-2 hal 97-98.
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq (seorang
tsiqat tapi
tadlis) dari Muhammad bin Zaid bin Muhajir (
tsiqat) dari Thalhah bin AbduLLAH bin Auf (
tsiqat) seorang
tabi’in. Hadits ini
mursal tapi ke
tadlisan Ibnu Ishaq tidak melemahkannya, karena Ibnu Ishaq tidak
tadlis dalam hadits ini hanya menyebutkan
sanadnya.
Dan juga telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Humaidi dari Sufyan
dari AbduLLAH dari Muhammad dan AbduRRAHMAN, keduanya anak dari Abu
bakar RA.
[7] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, jilid-I, hal 501-504.
[8] Imta’ al-Asma’, al-Maqrizi, hal 1/52
[9] Al-Watsaiq an-Nabawiyyah, hal.267; Ibnu Sayyidin Nas, 2/3; Ansab al-Baladziri 1/287.
[10] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, 2/49
[11] Imta’ al-Asma’, al-Maqrizi 1/357-358
[12] Thabaqat al-Kubra, Ibnu Ishaq 2/98
[13] Zaadul Ma’ad, 2/90-91
[14] al-Muhalla, 12/523-525